BENDE MATARAM JILID 21 PERJALANAN WIRAPATI
SETELAH
diamat-amati, ternyata darah itu merembes dari tiap tulang sambung. Benar-benar
mengerikan dan benar-benar kejam siksaan itu. Siapakah yang telah melukai
Wirapati demikian hebat? Wirapati bukanlah tokoh sembarangan. Kalau hanya
berhadapan dengan salah seorang anak murid Resi Buddha Wisnu, takkan
gampang-gampang bisa terlukai. Karena itu dugaan Sangaji bahwa dia kena pukulan
dari belakang punggung bisa diterima.
"Siapakah
yang melukai gurumu? Bagai-mana gurumu kena hantaman dari belakang?"
teriak Suryaningrat gugup.
Sangaji
hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menjawab tak lancar.
"Aku...
aku tak tahu. Guru kuketemukan sudah terbaring di tepi jalan..."
Setelah
berkata demikian, ia terus menggeliat ke belakang. Ia jatuh pingsan tak
sadarkan diri. Hebat bagi Kyai Kasan Kesambi yang tengah merayakan hari ulang
tahunnya yang ke-83. Pertama-tama ia kebanjiran tetamu tak diundang. Kedua,
anak muridnya yang baru datang dari merantau selama 12 tahun, tiba-tiba
menderita luka berat. Siapakah yang melukainya barangkali hanyalah setan yang
tahu. Dan ini merupakan hadiah ulang tahunnya yang takkan terlupakan sampai
saat ajalnya.
Siapakah
yang melukai Wirapati begitu kejam? Seminggu yang lampau setelah mem-peroleh
persetujuan sekalian saudara sepergu-ruannya, ia turun gunung dengan berjalan
kaki. Sampai menjelang tengah hari, ia tidak menjumpai sesuatu yang menarik
perhatian-nya. Tetapi tatkala melampaui Desa Selatiyang dan di dekat
persimpangan jalan Pesantren, mulailah ada tanda-tanda yang mencurigakan.
Ia
bersimpangan jalan dengan beberapa gerombol orang-orang luar daerah yang
ber-jalan berbondong-bondong sambil berbisik-bisik. Mendadak saja teringatlah
dia akan pengalamannya dua belas tahun yang lalu, sewaktu bersua dengan anak
buah sang Dewaresi dari Banyumas yang menyamar sebagai rombongan penari.
Melihat
gerak-gerik mereka, banyak di antaranya yang berkepandaian tinggi. Mereka
menuju ke selatan dengan wajah bersung-guh-sungguh. Apakah mereka termasuk
tamu-tamu Guru, pikirnya. Kemudian ia berkata kepada diri sendiri! Jika
benar-benar mereka tamu Guru, ah! Sungguh hebat! Guru bakal kebanjiran tamu tak
diharapkan.
Makin
lama jumlah mereka makin banyak. Mereka datang dari tiga penjuru. Timur, utara
dan barat. Apabila mereka bersua dengan Wirapati, pandangnya lantas saja
berubah. Gntung di antara mereka belum ada yang mengenal Wirapati. Meskipun
demikian pra-sangkanya mencurigai pemuda itu seakan-akan ada sangkut pautnya
dengan kedatangan mereka di sekitar wilayah Loano.
Sekonyong-konyong
dari arah utara ter-dengar derap kaki seekor kuda. Kemudian se-ekor lagi dan
seekor lagi. Tiga orang penung-gangnya membalapkan kuda tunggangan mereka
demikian menggila. Karena begitu cepat larinya, orang-orang yang berjalan cepat-cepat
menyibakkan diri. Ternyata yang menunggang kuda, mengenakan pakaian mewah,
mirip keluarga bangsawan. Mereka tiada membawa senjata. Tetapi dilihat dari
ketangkasannya, sekaligus
tahulah
orang bahwa penunggangnya bukan orang lumrah. Pastilah mereka berkepandaian
tinggi.
"Ha...
apakah mereka anak murid Resi Buddha Wisnu? Kalau mereka datang juga, alangkah
hebat!" seru seorang.
"Bukan!
Bukan!" bantah temannya berjalan. "Anak murid Resi Buddha Wisnu
kabarnya selamanya belum pernah berkuda. Kutaksir mereka utusan Pangeran Bumi
Gede hendak menyampaikan bingkisan untuk si tua Kasan Kesambi."
Diam-diam
Wirapati terkejut mendengar disebutnya nama gurunya, meskipun tadi dia sudah
menduga bahwa mereka akan datang sebagai tamu. Ia lebih-lebih terkejut lagi,
tatkala mendengar seseorang menyambung dengan suara lantang dari seberang
jalan,
"Hm,
aku ingin tahu bagaimana sih tam-pangnya si bocah Wirapati yang katanya
mempunyai seorang murid yang mengetahui tempat beradanya pusaka Bende
Mataram."
Mendengar
seru orang itu, tak terasa Wirapati menoleh. Ternyata orang itu sudah berusia
lanjut. Rambut dan kumisnya putih. Pandangnya kuyu, tetapi wajahnya masih
memantulkan semangat jantan.
Siapakah
orang itu? Wirapati membatin. Mestinya bukan orang sembarangan. Agaknya dia
belum mengenal diriku.
"Hm,
mereka datang untuk memperebutkan pusaka warisan Sangaji, dengan dalih
meng-antarkan bingkisan-bingkisan segala. Jangan harap."
Kalau
menuruti kata hatinya, waktu itu juga ingin dia mendekati dan memukulnya roboh.
Tapi mengingat kepergiannya kali ini mem-punyai latar belakang yang akan
menentukan persoalan, maka cepat-cepat ia menguasai diri. Kemudian berpikir
sambil mempercepat langkah.
Melihat
gerak-geriknya, ingin mereka mene-mui aku. Ah! Apakah tidak sebaiknya, aku
menyamar? Siapa tahu, di antara mereka ada yang mengenal diriku."
Memperoleh
pikiran demikian, segera ia hendak menyimpang jalan. Tangannya sudah bergerak
hendak mengawut-awut rambutnya. Mendadak ia berpikir lain, selamanya anak murid
Gunung Damar tidak pernah menyamar. Guru selalu mengajarkan sikap
terang-te-rangan. Biarlah aku dalam keadaan begini. Mereka mau apa? Sekiranya
mereka mengenal diriku, malah kebetulan. Masa aku takut dipergoki?
Hatinya
jadi mantap, setelah memperoleh keputusan. Bahkan dengan agak membu-sungkan
dada, ia meneruskan perjalanan menuju ke barat. Pandangnya menyala-nyala
seolah-olah menantang kepada semua yang hendak menantangnya.
Perjalanan
pada dewasa itu masih sangat sukar. Jalan yang dilalui tidak serata kini.
Seberang menyeberang jalan masih berhutan lebat. Kadang-kadang masih harus
menye-berangi rawa-rawa dan sungai-sungai kecil. Itulah sebabnya, Wirapati baru
sampai di wi-layah Dusun Karangtinalang setelah berjalan dua hari terus menerus
tanpa berhenti.
Pada
malam hari yang ketiga, ia mulai menyelidiki sekitar Kali Bregoto. Kemudian
terus berjalan menyusur tebingnya sampai di sebelah selatan Dusun Jagong.
Kebetulan waktu itu bulan terang, maka dia bisa mem-peroleh bantuan dari alam.
Meskipun demikian, sampai di dekat persimpangan jalan ke Kuripan, belum juga ia
memperoleh tanda-tanda yang menggembirakan. Ya waktu itu dua belas tahun telah
lewat. Agaknya semuanya sudah mengalami perubahan. Tetapi yang benar, pada
waktu itu dia tidak mengamati sekitar tempat adu kekuatan melawan Ki Hajar
Karangpandan.
Kira-kira
menjelang larut malam, ia duduk melepaskan lelah di atas sebuah gundukan.
Pikirannya mulai bekerja keras untuk me-ngembalikan ingatannya pada dua belas
tahun yang lampau.
"Di
manakah aku dahulu bertempur melawan Ki Hajar," ia sibuk menduga-duga.
"Terang sekali,
aku
dahulu lari mengarah ke tenggara. Hm... apakah aku harus mulai dari
Karangtinalang!"
Mendadak
saja teringatlah dia akan kata-kata penghabisan Wayan Suage yang diucapkan
lewat mulut Sangaji, bahwa hutan tempat pertempuran dahulu sudah terbakar.
Kemudian petak tanahnya dibangun menjadi sebuah dusun baru. Teringat akan hal
ini, seleret cahaya mulai bersinar dalam benaknya. Segera ia bangkit dan mulai
bekerja lagi dengan memandang kiblat.
Tatkala
hari hampir menjelang pagi, barulah dia menemukan dusun baru itu. la bersyukur
dalam hati dan segera mendaki pohon untuk menunggu hari pagi di balik mahkota
daun-nya.
Keesokan
harinya segera ia menyusur su-ngai yang melingkari dusun. Beberapa waktu
kemudian, ia merasa seperti pernah meram-bah daerah itu. Sepercik harapan
timbul dalam hatinya. Cepat ia menjenguk sungai. Dilihatnya sungai itu
berlumpur. Jantungnya lantas saja jadi berdegupan. Yakinlah dia,bahwa itulah
tempat beradanya almarhum Wayan Suage tatkala disembunyikan di bawah pohon
tembelekan yang kemudian terbakar habis. Gugup ia mengamat-amati tebingnya.
Sangaji berkata, bahwa tebing tempat menyimpan pusaka warisan adalah tebing
batu. Sedang tebing seberang menyeberang adalah tanah merah belaka. Maka
kembali lagi ia menyusuri tebing sungai ini. Mendadak saja dalam benaknya
berkelebat suatu ingatan.... kakinya buntung. Satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan diri dari lautan api
hanyalah
menggulungkan diri ke dalam sungai berlumpur. Lukanya pasti sangat menyakiti
dirinya. Masakan dia mampu merangkaki tebing, kemudian melarikan diri sejauh
ini? Rasanya tak mungkin. Apalagi dia dibebani benda. Ah! Pastilah dia hanya
meraba-raba tebing sejadi-jadinya. Lalu menemukan suatu tebing berbatu...
lalu....
Bergegas
ia kembali ke tempatnya semula. Begitu mengenal bagian sungai yang berlum-pur,
segera ia hendak meloncat. Mendadak teringatlah dia, bahwa sekitar lembah belum
diperiksanya. Bukankah dahulu dia pernah kepergok laskar Pangeran Bumi Gede
yang berjaga di sekitar sungai itu? Maka dengan berlarian, ia memeriksa sekitar
sungai sejauh lima pai. Setelah itu beristirahat melepaskan lelah sampai
matahari terbenam.
Pada
malam harinya setelah mengisi perut, segera ia menanggalkan pakaian. Kemudian
mencebur ke dalam sungai dengan hati-hati. Tatkala kakinya mulai meraba
dasarnya, teringatlah dia kepada pengalamannya dua belas tahun yang lalu.
Lapat-lapat ia mengenal terjalnya dasar sungai yang penuh lumpur dan batu-batu
tajam. Segera ia meraba tebingnya dan menyusur. Dugaannya ternyata benar. Tak
lama kemudian ia menjumpai sesuatu tebing berbatu licin. Sebenarnya adalah
sebuah batu padas yang mencongakkan diri dari dasar tebing. Hati-hati ia menggerayangi,
ternyata batu itu merupakan suatu permukaan belaka. Pada sisi bawahnya menjorok
ke dalam dan merupakan suatu gua yang cukup untuk didiami dua ekor bulus ).
Maka
terpaksalah dia menyelam sambil ta-ngannya terus menggerayangi. Manakala
kepalanya tersembul di atas permukaan ter-nyata dia bisa bernapas.
Ah!
Benar! Di sinilah tempat yang aman untuk menyembunyikan diri dari panas api.
Ternyata Wayan Suage bukan orang bodoh, la pandai mengambil tindakan dengan
cepat, pujinya dalam hati.
Mengingat
akan bahaya binatang-binatang berbisa yang mungkin bersarang dalam kubang air
itu, ia balik kembali mengambil pedang pendeknya. Kali ini berhasillah dia
menggerayangi kubangan itu sampai ke dasarnya. Perlahan-lahan ia menumbukkan
pedangnya. Setelah memakan waktu beberapa waktu lamanya, didengarnya suara
benda memantul. Jantungnya lantas saja berdegu-pan karena girang. Cepat ia
menjenguk ke dalam. Begitu ia mengaduk lumpurnya, segera munculah dua benda
pusaka Bende Mataram yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi bahan perebutan.
Selamanya belum pernah sekali juga, Wirapati menjamah benda keramat tersebut.
Dahulu se-waktu menolong Wayan Suage, sama sekali tak tertarik hatinya. Bahkan
memandangpun tidak. Tapi kini setelah ikut menjenguk per-soalannya mendadak saja
hatinya tergetar. Dirinya terasa seolah-olah dekat dan ber-sangkut-paut dengan
benda
itu.
Gugup
ia menepi dan dengan tangan bergemetaran karena dingin air dan jantung
berdegupan, ia mencoba mengamat-amati.
Hm,
ia menghela napas. Tak lebih dan tak kurang adalah benda lumrah. Alangkah gila
manusia-manusia yang begitu mati-matian saling memperebutkan sampai tak
menya-yangkan nyawa sendiri. Apakah yang menarik? Aha... barangkali dongeng
kekeramat-annya yang dibesar-besarkan. Tetapi aneh mengapa guru berdiam diri
pula sewaktu aku memaparkan riwayat perjalananku dua belas tahun yang lalu yang
menyangkut pula riwayat perebutan benda itu?
Selagi
dia berpikir pulang balik, sekonyong-konyong ia merasa seperti dihampiri
sesuatu. Cepat ia menoleh sambil melompat ke depan. Tapi sekitarnya sunyi
senyap. Tiada bayangan sekelumit pun nampak di depan hidungnya, kecuali
bayangannya sendiri. Katanya bergumam dalam mulutnya.
"Aku
pun jadi gila. Mengapa blingsatan tanpa alasan?" Segera ia mengenakan
pakaian dan mengeluarkan goni penyimpan kedua pusaka tersebut yang sudah
disediakan ter-lebih dahulu. Kemudian berkata lagi seperti menasehati dirinya
sendiri.
Betapa
pun juga, benda ini sudah menjadi pembicaraan ramai. Mereka bersedia
mengor-bankan nyawa demi benda ini. Entah mereka yang bodoh atau aku yang
goblok, baiklah aku berhati-hati menjaga diri. Siapa tahu, mungkinpula terekam
suatu rahasia sebenarnya di balik benda ini....
Memperoleh
pikiran demikian segera ia bersiaga. Keris Panubiru yang disebut pula dengan nama
Kyai Tunggulmanik disisipkan di balik bajunya. Sedang Kyai Bende Mataram
dibungkus ringkas-ringkas ke dalam karung-nya. Setelah diikat dengan tali, ia
meng-gantungkan di pinggang mirip seorang kelana menangsal bekalnya dalam
perjalanan jauh.
Waktu
itu musim kering. Meskipun malam hari, seluruh alam menyebarkan hawa panas.
Angin meniup di tengah jalan, keringatnya merembes tiada hentinya. Tetapi oleh
keringanan hati dan rasa tegar hendak cepat-cepat mencapai perguruan Gunung
Damar, hawa panas dan rasa lelah tak diin-dahkan, seluruh pojok benaknya
dipenuhi oleh peristiwa penemuan kembali pusaka Bende Mataram yang dibawanya.
Pikirnya, semua orang menunggu aku. Siapa mengira, tiba-tiba hari ini aku
menjadi manusia begini penting..., memikir demikian, ia geli sendiri.
Tentang
riwayat kedua pusaka yang dibawanya itu bagi dia tiada asing lagi. Sebagai
penduduk Gunung Damar yang berdekatan dengan Desa Loano, ia kenal riwayatnya.
Riwayat pusaka tersebut sudah menjadi do-ngeng rakyat yang tersebar dari mulut
ke mulut. Dahulu gurunya pun seringkali mem-bicarakan. Tetapi sebagai seorang
muda, sama sekali ia tak tertarik. Cerita itu tak lebih dan tak kurang hanya
merupakan dongeng khayal belaka. Sebaliknya, pengasuhnya yang bernama Wirasimin
menganggap dongengan itu sebagai suatu peristiwa bersejarah yang terjadi dengan
sungguh-sungguh. Nyatanya, pada hari itu dia membawa pulang juga kedua pusaka
Bende Mataram itu. Entah kedua pusaka tersebut adalah benar, kedua pusaka Bende
Mataram yang diberikan patih Lowo Ijo ) entah tidak, tiada seorangpun dapat
menjadi saksinya.
Yang
terang, kini menjadi bahan perebutan hampir semua ksatria di seluruh Pulau
Jawa. Maka teringatlah dia akan tembang Dan-danggula yang sering dinyanyikan
Wirasimin pada malam sunyi apabila pengasuhnya itu hendak menghibur diri. Di
antara deretan tembangnya terdapat sebuah bait yang menyinggung tentang adegan
Bende Mataram dan Lowo Ijo. Bunyinya begini,
Mangkya
Bende Mataram ji Mring patih Lawa Ijo sabda Sun jarivani glis marene Jenengsira
insun utus Hanyekel maling aguna sekti Pangeran Joyokusumo Ya kongsi keleru Sun
bektani pusaka Jawa Jala lawan Tunggulmanik Sarta Bende Mataram....
Alih
bahasa
Segera
Bende Mataram Bersabda kepada patih Lawa Ijo Mendekatlah kuperintahkan padamu
Hendaklah
kau tangkap maling sakti Pangeran
Joyokusumo namanya Jangan sampai luput
Kusertakan
pusaka Jawa Jala dan Tunggulmanik Serta Bende Mataram....
Lewat
larut malam, ia menemukan sebuah gubuk. Di sana dia menginap. Keesokan
hari-nya, setelah membersihkan badan, ia melan-jutkan perjalanan. Waktu itu,
barulah dia merasa lapar benar-benar, setelah memeras tenaga hampir dua hari
dua malam. Maka bergegaslah ia mencari kedai hendak mengisi perut. Tapi sampai
matahari sepenggalan tingginya, belum juga ia menjumpai sebuah kedai. Baru
setelah matahari mencapai titik tengah, ia melihat sebuah kedai di kejauhan.
Kedai
itu berada di persimpangan jalan yang sunyi. Dindingnya terbuat dari dinding
rong-sokan dan hitam lekam bekas kena angus. Tatkala ia memasuki, ternyata di
dalamnya terdapat lima pengunjung. Pemilik kedainya seorang laki-laki setengah
umur. Sikapnya dingin, wajahnya kuyu dan seperti seseorang yang telah lama
kehilangan semangat, la duduk berdiam diri, menunggu kelima tamunya yang
sekali-kali berbicara sambil meng-gerumuti penganan.
Dengan
sedikit membungkuk, ia duduk di atas bangku bambu dan memesan secangkir kopi
dan sepiring nasi. Penganan yang berada di depannya terdiri dari ketela rebus,
goreng pisang dan tempe goreng. Meskipun penganan murah, tetapi pada saat itu ia
lapar bukan main. Maka terus saja dia menyambar tempe goreng dan ketela rebus
sekaligus.
Selagi
dia menggerumuti hidangan murahan itu, mendadak terdengarlah suara ribut-ribut
di kejauhan. Tetamu lainnya terus saja melompat ke luar menjenguk jalan.
"Hai!
Orang gila!" teriaknya agak gugup.
Tak
lama kemudian munculah seorang laki-laki tegap berlumuran darah. Tangannya
mencekam sebatang kapak besar dan mengo-bat-abitkannya ke udara dengan
serabutan.
Laki-laki
itu bercambang dan berbewok tak terurus. Sikapnya gagah dan tangkas. Tetapi
sinar matanya agak guram. Gerak-geriknya seperti orang kurang waras. Suatu
tanda bahwa dia gila.
Dengan
mengernyitkan dahi, Wirapati mengamat-amati kapak raksasa yang digeng-gam orang
itu. Kapak itu terbuat dari baja murni. Berat, tetapi bisa digerakkan oleh
perge-langan tangan begitu teratur dan tangkas. Terang sekali, orang gila itu
bertenaga besar dan berkepandaian bukan sembarang.
la
mencoba mengingat-ingat bentuk tubuh laki-laki itu. Sepasang ingatannya, belum
per-nah gurunya memperkenalkan seorang tokoh yang bersenjatakan kapak raksasa.
Pikirnya, tetapi ilmu kapaknya begini hebat. Penjagaan diri rapat dan kesiur
anginnya bukan kepalang kerasnya. Mengapa guru belum pernah mem-perkenalkan
tokoh ini? Apakah karena dia dianggap gila, sehingga tak bisa digolongkan ke
dalam deretan ksatria-ksatria atau seorang pendekar?
Dalam
pada itu, laki-laki itu memutar kapaknya kian kalang-kabut sambil
berteri-ak-teriak dahsyat. Katanya dengan suara parau, "Hai cepat! Cepat!
Laporkan kepada Gusti Pangeran... musuh telah tiba!"
Karena
sikapnya galak, orang-orang kam-pung dan bocah-bocah yang menguntitnya dari
jauh jadi gentar hati. Setengahnya ada yang sudah bersiaga melarikan diri.
Tamu-tamu warung, lari berderai pula dengan melompat-lompat tinggi seperti
seseorang kemasukan kelabang dalan pipa celananya.
Dengan
penuh perhatian, Wirapati menga-mat-amati wajah orang itu. Wajahnya
mem-bayangkan suatu kecemasan, seolah-olah menghadapi sesuatu yang menakutkan.
Meskipun
permainan
kapaknya masih gencar, tetapi tangannya sudah nampak kendur. Dengan
terengah-engah, orang itu berteriak sambil mempertahankan diri.
"Adikku
Panji Pangalasan, cepatlah engkau mengundurkan diri! Jangan hiraukan aku!
Biarlah Malangyuda menghadapi dia seorang diri! Lebih baik, cepatlah engkau
memberi kabar kepada Gusti Pangeran!"
"Agaknya
orang ini bernama Malangyuda dan begitu setia menghamba kepada majikan-nya yang
disebut gelarnya. Siapakah nama majikannya? Sungguh mengagumkan kesetia-annya.
Seseorang yang sudah nampak luka dalam tubuh masih begini gerak
mengobat-abitkan senjatanya. Apabila bukan seorang hamba yang setia, masakan
sudi menyakiti diri sendiri, pikir Wirapati. Karena terdorong rasa kagum dan
rasa hormat, tanpa memikir diri sendiri Wirapati terus melompat ke luar kedai
sambil menggapai, "Saudara Malangyuda! Mari kita mengaso barang sebentar,
menghirup teh. Tenaga yang berlebih-lebihan akan membuat lukamu semakin
parah!"
Mendengar
seruan Wirapati, orang itu lantas saja memelototi seraya membentak.
"Jahanam
begundal Pangeran Bumi Gede! Kau mau merobohkan aku? Ha, jangan mimpi! Awas,
sekali kau berani menyinggung Gusti Pangeran, aku akan mengadu nyawa dengan-mu.
Hayo enyah, kau keparat!" Dan setelah membentak demikian, kapaknya terus
saja diputar dan menyerang dahsyat.
Keruan
saja orang-orang melihat sepak ter-jang si gila, menjerit ketakutan. Wirapati
sendiri terkesiap hatinya. Pikirnya cepat, terang sekali otaknya kurang waras!
Dia menyinggung nama Pangeran Bumi Gede. Aku dikira begundalnya. Apakah majikannya
bermusuhan dengan Pangeran jahanam itu?
Baiklah
kutolong dahulu orang ini. Siapa tahu aku bisa memperoleh keterangan yang
ber-harga...
Memperoleh
pikiran demikian, terus saja ia bersiaga. Menghadapi serangan si gila yang
serabutan, dia bukannya mundur malahan maju. Dengan gesit ia menghindari
sabetan kapak. Ternyata si gila bisa bergerak dengan gesit dan tangkas pula.
Mendadak saja, begitu sabetannya luput terus saja diputar untuk menyodok perut.
Untung,
Wirapati bukanlah seorang jago murahan. Menghadapi serangan tak terduga, luar
biasa cepatnya tangannya melipat mene-robos lengan si gila.
Tahu-tahu
ia telah berhasil menusuk dada. Seketika itu juga, tubuh Malangyuda tergetar.
Memang tenaganya sudah hampir habis seper-ti dian nyaris kehabisan minyak. Maka
begitu kena pukulan Wirapati yang disertai tenaga gendam kedua, lengannya
serasa menjadi lumpuh. Dengan lunglai lengannya terkulai ke samping dan kapak
jatuh bergerontangan ke tanah.
Wirapati
terus memeluknya dan dibawa masuk ke dalam kedai. Dengan ramah ia berkata,
"Mari kita minum teh dahulu! Saudara sangat lelah."
Malangyuda
sudah punah tenaganya, na-mun dia pantang menyerah. Dengan mata melotot ia
membentak. "Kau siapa?... Kau begundal Pangeran Bumi Gede atau
bukan?"
Memperoleh
pertanyaan demikian, Wirapati sulit juga untuk segera menjawab. Apabila
menjawab bukan, bagaimana ia harus mem-buktikan. Tetapi pada detik itu, ia
menjawab untung-untungan.
"Aku
seorang perantau. Aku bukan begundal Pangeran Bumi Gede."
"Hm...
kau bilang kau bukan begundal Pangeran Bumi Gede. Apakah kau kenal bangsat
itu?" Malangyuda tetap bercuriga.
"Aku
kenal padanya. Dia memang seorang bangsat. Karena itu, kita adalah kawan
seper-juangan."
Malangyuda
nampak ragu-ragu. Pandangnya penuh selidik. Sejenak kemudian bertanya: "Di
manakah
Pangeran Bumi Gede kini berada?"
Wirapati
mengernyitkan dahi. Pertanyaan itu tak gampang-gampang dijawab, karena terasa
ada lubang jebakannya. Maka cepat-cepat ia mengalihkan perhatian.
"Kita
adalah sekawan seperjuangan, mari kita pergi menuntut balas Pangeran jahanam
itu!"
Tiba-tiba
Malangyuda bangkit dan berteriak, "Tidak, tidak! Bumi Gede terlalu sakti,
perkasa dan tak terlawan. Lekaslah enyah dari sini dan tolonglah aku memberi
kabar kepada Gusti Pangeran, agar bisa berjaga-jaga. Aku sendiri akan
menghadang Pangeran jahanam itu di sini. Pergilah!" Sehabis berseru
demikian, cepat ia menyambar kapaknya dan hendak cepat-cepat pergi. Namun
Wirapati menahan-nya dan menyabarkan.
"Gampanglah
memberi kabar kepada majikanmu. Soalnya siapakah Gusti Pangeran yang kau
sebut-sebut berulang-ulang? Dia kini berada di mana?"
Tetapi
Malangyuda tak menggubris per-tanyaan itu. Cepat ia memaksa berdiri dan
berteriak lagi seperti orang sinting.
"Minggat!
Minggatlah dari sini! Kau Pangeran jahanam, boleh mencoba seribu jurus
permainan kapakku. Jangan mimpi bisa mencelakakan Gusti Pangeran, selama
hayatku masih dikandung badan."
Wirapati
kewalahan juga. Mendadak terde-ngarlah pemilik kedai berkata menganjurkan,
"Nampaknya
orang itu benar-benar meng-harapkan pertolongan Tuan. Seumpama Tuan mau pergi
mencari majikannya, mungkin pula dia bersyukur dalam hati."
"Benar!
Benar! Cepatlah memberi kabar! Gusti Pangeran kini berada di Desa Ngasinan
dekat Rawa Pening. Pergilah! Pergilah segera mumpung Pangeran jahanam itu belum
nam-pak batang hidungnya lagi."
Wirapati
menarik napas panjang. Rawa Pening letaknya tak dekat. Paling tidak harus
membutuhkan perjalanan satu hari penuh tanpa berhenti. Tetapi oleh desakan
ber-ulang-ulang dari seseorang yang sedang luka parah, hatinya tak sampai. Lagi
pula itulah darma kebajikan yang dianjurkan gurunya berulang-ulang sebagai ciri
perguruan Gunung Damar yang khas.
"Baik,
Rawa Pening aku tahu letaknya. Tetapi Desa Ngasinan masih asing bagiku,"
akhirnya dia berkata.
Mendengar
kata-kata Wirapati, Malangyuda girang bukan main sampai berloncat-loncat kecil.
Mendadak
saja terus lari seperti diuber setan.
"Hai!
Kau belum menerangkan letak Desa Ngasinan!" seru Wirapati memanggil.
"Biarlah
tak mengapa," sahut pemilik kedai. "Aku pernah datang ke sana."
Kemudian dia menerangkan, "Rawa Pening di zaman dahulu mempunyai
riwayatnya sendiri. Di bukit sebe-lah selatan tersebutlah seekor ular raksasa
bernama Baru Kelinting. Dia merubah diri menjadi seorang anak tanggung yang
bepura-pura minta sedekah kepada penduduk sekitar rawa itu. Tetapi penduduk
sangatlah kikirnya. Untunglah dia ditolong oleh seorang nenek. Tatkala dia
membalas dendam dengan menenggelamkan seluruh penduduk dusun dengan
kesaktiannya, hanyalah nenek itu sendiri yang selamat. Di kemudian hari, nenek
itu menjadi jin penunggu Rawa Pening yang akan menjaga keabadiannya."
"Lekaslah
kausebutkan di mana letak Desa Ngasinan! Apa perlu mendongeng tak keruan?"
bentak seorang pengunjung yang rupanya beradat berangasan. Kena dibentak
demikian, pemilik lantas saja berkata, "Eh, ya, maaf. Tuan kenal
persimpangan jalan sebelah utara Ambarawa? Beloklah ke kanan. Kira-kira sejauh
sepuluh pai, Tuan akan menjumpai sebuah jembatan batu. Tetapi janganlah Tuan
menyeberang lewat jembatan batu itu, kalau tak ingin tersesat. Sebaliknya
pilihlah jembatan bambu yang terletak tak jauh dari jembatan batu tersebut.
Kemudian beloklah ke kiri. Kira-kira satu pai, Tuan akan bertemu dengan simpang
jalan lagi. Pilihlah yang ke kanan. Nah, Tuan akan melihat sebuah dusun yang
dilingkari pagar
bambu
lebat. Di sana terdapat sebuah rumah semacam pesanggrahan. Tanyalah kepada
siapa saja yang disebut Gusti Pangeran. Pasti Tuan akan diantarkan."
Sebenarnya
Wirapati tak sabar lagi mende-ngarkan keterangan pemilik kedai yang
bertele-tele. Tapi justru kurang sabar itulah yang membuat dia kena bahaya.
Coba andaikata mau meneliti tiap keterangan pemi-lik kedai itu, pastilah akan
heran mengapa dia bisa menerangkan tempat beradanya yang disebut Gusti Pangeran
begitu terang gam-blang.
Begitulah,
setelah membayar makanan segera ia berangkat. Sehari itu ia berjalan cepat.
Setelah melampaui kota Magelang, pemandangan seberang-menyeberang mulai nampak
indah. Kadang-kadang ia menjumpai beberapa kereta pos kompeni yang datang dari
Semarang. Biasanya dia usilan, tapi kali ini tidak. Dalam hatinya, ia ingin
cepat menyele-saikan perkara tersebut. Pikirnya, eh, kembali lagi aku terlibat
dalam suatu perkara yang bukan kepentinganku. Tetapi aku sudah terlanjur
sanggup menyampaikan berita kepada orang yang disebut sebagai majikannya.
Masakan aku akan menyia-nyiakan kepercayaan seseorang yang membutuhkan
pertolongan? Di kemudian hari apabila dia mengetahui bahwa aku adalah salah
seorang murid Gunung Damar, bukankah aku menyeret nama perguruan.
Memperoleh
pikiran demikian mantaplah hatinya untuk menunaikan darma itu dengan
sebaik-baiknya. Pada sore hari itu, tibalah di sebelah utara Dusun Pingit, la
beristirahat sebentar di tepi jalan di bawah pohon rindang sambil merenungi
bukit Telamaya dan Jakapekik. Pikirnya, besok pagi sampailah di tempat tujuan.
Diam-diam legalah hatinya.
Pada
malam hari itu, ia menginap di sebuah desa dekat Ambarawa. Keesokan harinya,
berbareng dengan terbitnya matahari ia meneruskan perjalanan.
Kira-kira
delapan pai dekat Ambarawa. la membelok ke kanan. Seberang menyeberang jalan
adalah rumpun tetanaman dan sawah. Di bawah sebuah pohon tumbang, duduklah
seorang petani. Petani itu menyandarkan tubuhnya sambil merendam kakinya ke
dalam lumpur.
Penglihatan
demikian adalah lumrah. Yang tidak lumrah ialah, bahwasanya muka petani itu
berlumuran darah. Padahal waktu itu masih pagi hari. la memegang sebuah pacul
tajam dan sabit oleh cahaya matahari terpantulah suatu sinar gemerlapan. Terang
sekali sinar itu sangatlah tajamnya. Tatkala Wirapati lewat di sampingnya,
terdengarlah pernapasannya tersekat-sekat. Diam-diam Wirapati terkejut.
Pikirnya, apakah dia habis berkelahi di pagi hari ini? Tertarik oleh
penglihatan itu, lantas saja Wirapati menghampiri.
"Apakah
Saudara membutuhkan perto-longan?"
Petani
itu tiada menjawab. Dia hanya mendengus sekali dan nampak lagi menguasai
pernapasan.
"Hm,"
Wirapati menyesal. Ia diam menim-bang-nimbang sejenak. Tiba-tiba mengalihkan
pertanyaan. "Apakah saudara kenal letak Desa Ngasinan? Seorang sahabat
bersenjata kapak minta padaku agar aku mengirimkan berita kepada majikannya di
Dusun Ngasinan. Apakah benar jalan ini menuju Desa Ngasinan?"
Mendengar
pertanyaan Wirapati, mendadak saja petani itu terkejut. Kepalanya mendongak dan
ganti berbicara, "Apakah sahabat yang bersenjata kapak masih hidup atau
sudah mati?"
"Ia
hanya nampak lelah, mungkin luka parah. Kukira nyawanya tak perlu
dikhawatir-kan."
"Syukurlah,
Tuhan masih sudi melindungi," petani itu menghela napas. Dan melihat
sikap-nya yang sopan serta tutur bahasanya teratur, Wirapati percaya bahwa
petani itu bukan orang sembarangan. Maka ia segera bersikap hati-hati. Bertanya
minta keterangan, "Apakah orang yang bersenjata kapak itu teman
Saudara?"
"Namanya
Malangyuda. Aku sendiri, pang-gillah Pangalasan," sahut petani itu.
Meneruskan,"Jika saudara akan ketemu de-ngan majikan yang disebutkan,
cepatlah berangkat menyekat jalan persimpangan itu Pangeran Bumi Gede telah
lewat pada fajar hari tadi. Malulah kalau kututurkan karena ternyata aku tak
mampu melawannya."
Melihat
luka parahnya, Wirapati percaya apa yang dikatakan. Lagi pula kesannya orang
itu sangat sopan, sederhana dan terbuka hatinya. Diam-diam Wirapati senang
padanya.
"Saudara
Pangalasan. Agaknya lukamu tak enteng. Dengan senjata apakah Pangeran Bumi Gede
melukai dirimu?" tanya Wirapati.
"Dengan
sebatang tongkat."
"Tongkat?"
Wirapati terkejut. Mendadak teringatlah dia akan penglihatannya pada dua belas
tahun yang lalu tatkala melihat seorang pemuda membunuh salah seorang rombongan
penari aneh dan Made Tantre. Tak disadarinya bulu romanya menggelidik.
Buru-buru ia memeriksa luka si petani itu. Ia membungkuki dan melihat sebuah
luka cukup besar di atas dadanya. Cepat-cepat ia memijit di atas luka itu untuk
membendung darah yang mengalir tiada henti seperti yang pernah dilakukan
ter-hadap Wayan Suage. Kemudian mengeluarkan obat luka dan dipoleskan dengan
hati-hati.
"Untung!
Tiada beracun," katanya setengah bersyukur.
"Terima
kasih atas budimu. Siapakah nama Saudara? Bolehkah aku turut mengenal?"
"Mengapa
tidak? Aku Wirapati, murid keem-pat Kyai Kasan Kesambi."
"Ah!"
Pangalasan terkejut. "Hari ini, akhirnya aku bisa bertemu dengan salah
seorang murid Kyai Kasan Kesambi. Hm, rasanya mati pun aku puas."
"Kata-katamu
berlebih-lebihan." Potong Wi-rapati cepat. Kemudian mengalihkan
perha-tian. "Sebenarnya siapakah majikan orang bersenjata kapak itu?
Agaknya engkau me-ngenal dia. Apakah dia kawanmu?"
"Sudah
kukatakan tadi, bahwa aku menge-nal dia. Apakah dia tidak menyebut namaku?
Lengkapnya Panji Pangalasan."
Wirapati
mengerinyitkan dahi mengingatingat. Ya, dalam kekalapannya Malangyuda pernah
memanggil nama Panji Pangalasan agar mencari majikannya untuk memberi kabar
bahaya. Maka dia mengangguk.
"Majikannya
adalah majikanku pula. Kami menyebutnya Gusti Pangeran. Maafkan! Tetapi Gusti
Pangeran bermukim di sebuah pesang-grahan di Desa Ngasinan. Dengan menyebut
nama Malangyuda dan namaku, rasanya tak sukar engkau mencari pesanggrahannya.
Tiap orang akan bersedia menunjukkan."
Diam-diam
Wirapati heran, mengapa orang itu tak berani menyebut nama junjungannya. Tapi
mengingat majikannya dalam keadaan bahaya, mungkin dia tak berani menyebut
namanya dengan terus terang untuk menjaga keselamatannya.
"Baiklah
aku akan segera menghadap majikanmu."
Mendadak
saja orang itu memaksa diri hendak berdiri, kemudian bermaksud menyembah sambil
berkomat-kamit,
"Terima
kasih... o, terima kasih..."
Buru-buru
Wirapati mencegah maksudnya sambil berkata, "Sudahlah mengapa begini
berlebih-lebihan? Sampai berjumpa." Dan tanpa menunggu jawaban Wirapati
terus saja meninggalkan cepat-cepat.
Tak
lama kemudian, sampailah dia di tepi sebuah sungai yang bertebing curam. Sebuah
jembatan batu melintang dari seberang ke seberang. Di dekat jembatan batu,
melintang pula sebuah jembatan yang terbuat dari bambu. Teringat akan
keterangan pemilik kedai agar jangan lewat jembatan batu, segera ia menghampiri
jembatan bambu. Sekonyong-konyong terdengarlah seseorang memanggilnya,
"Hai
saudara! Jangan lewat jembatan bambu. Jembatan itu keropos di tengah."
Wirapati menoleh dan melihat seorang laki-laki berperawakan
jangkung berdiri di
te-ngah
jembatan
batu sambil membawa cemeti panjang. Orang itu nampak ramah dan
sung-guh-sungguh.
"Terima
kasih," sahut Wirapati senang. "Desa yang kutuju berada di depan."
"Ngasinan?"
"Ya."
"Lewatlah
di sini! Tadinya memang lewat jembatan itu, tetapi semenjak hujan terus-menerus
maka orang membangun jembatan batu."
Wirapati
tak menggubris peringatan orang itu. Dia tetap lewat jembatan bambu, karena
takut masuk perangkapnya. Di luar dugaan, baru saja kakinya berada di
tengah-tengah terdengar suara gemeretak. Jembatan patah di tengah-tengah
seperti peringatan orang itu. Untunglah, Wirapati cukup cekatan. Dengan sebat
ia menyambar bambu keropos yang sedang meluruk runtuh ke bawah dan dengan suatu
tenaga mengajaibkan ia melayang ke depan bagaikan burung mencapai seberang.
Orang
itu tertawa terbahak-bahak sambil berseru, "Bagus! Luar biasa bagus!
Rasakan kini, mengapa tak mendengarkan nasihatku. Hai, engkau begini tergesa-gesa
hendak mencari siapa?"
Wirapati
mendongkol mendengar ucapan-nya. Tatkala memeriksa sisa bambu yang masih
tergantung di seberang tahulah dia, bahwa runtuhnya jembatan itu ada yang
membuat dengan sengaja.
Nampak
sekali, betapa lonjoran bambu itu terkikis dari bawah.
"Hm,"
ia mendengus sambil menatap orang itu dengan tajam. Tetapi ia tak berkata lagi.
Bahkan terus melanjutkan perjalanan tanpa menoleh.
"Hai!
Hai! Tunggu! Aku pun mau ke sana...!" seru orang itu.
"Bagus!
Nah kejarlah aku!" sahut Wirapati.
Dan
setelah berkata demikian, ia memper-cepat langkahnya. Cepat orang itu menguber
dari arah jembatan batu. Tetapi betapa berusaha mempercepat langkahnya, tetap
tak mampu mengejar.
Melihat
orang itu berkepandaian lumrah, Wirapati tiada menaruh perhatian lagi. Kini
sengaja ia lari dengan menjejak tanah. Maka sebentar saja, bayangan orang yang
menge-jarnya tiada nampak lagi.
Jalan
yang dirambah itu ternyata kian lama kian sempit. Seberang-menyeberang hanya
dipagari rumput alam yang kasar dan tajam luar biasa. Kadang-kadang terseling
rumpun bambu liar. Tak lama kemudian, Rawa Pening nampak di depan hidungnya.
Sunyi menyayat hati dan berkesan angker. Jalanan itu me-lingkari rawa dan kini
mulai terhalang oleh gerombol belukar. Dan diam-diam Wirapati membatin.
"Aneh! Siapakah majikan orang-orang itu yang memilih tempat begini sunyi
sebagai tempat pesanggrahan?"
Baru
saja ia membatin demikian, tiba-tiba matanya tajam melihat berkelebatnya sebuah
pancing menyambar padanya. Cepat ia melompat mengelak sambil menyambar ta-ngan
hendak merampas. Ternyata pancing yang berkelebat itu seperti terkendalikan.
Wirapati
cukup gesit, tetapi pancing itu pun lebih gesit lagi. Diam-diam murid Kyai
Kasan itu terkejut dalam hatinya. Tatkala menoleh, ia melihat seorang laki-laki
lagi memancing di tepi rawa dengan acuh tak acuh. Seperti tak sengaja
pancingnya menyerang Wirapati. Kemudian mengumpat.
"Kurang
ajar! Bagus engkau bisa membe-baskan diri dari pancingku."
Kata-kata
yang diucapkan itu meskipun nampaknya lagi mengumpat ikan yang berada di dalam
rawa, tetapi kesannya tertuju kepada Wirapati pula. Mau tak mau Wirapati
menghentikan
langkahnya.
Lantas bertanya, "Saudara! Di manakah letak pesanggrahan majikan orang
yang menyuruh aku meng-hadap padanya?"
Tanpa menoleh
orang itu terus menyahut, "Haaa.... masakan
begitu gampang engkau
bisa
menemuinya?
Hayo makanlah cacing ini! Hayo makanlah kalau mampu. Masakan tam-pangmu mampu
mengalahkan aku."
Mendengar
ucapan orang itu, Wirapati men-dongkol hatinya. Terang sekali, dia berpura-pura
tak mendengar pertanyaannya. Maka ia hendak meneruskan perjalanan saja daripada
mencari perkaranya. Tak tahunya, tiba-tiba untuk yang kedua kalinya, pancing
itu menyambar lehernya. Cepat Wirapati me-ngendapkan diri sambil melompat ke
depan. Mengira dia salah seorang begundal Pangeran Bumi Gede yang sengaja
menghambat per-jalanannya. Maka terus saja dia mengumpat, "Hai! Belum
pernah kita saling bertemu di perjalanan mengapa engkau menyerang daku?"
"Hm....
sekali pancing telah terlanjur
dikait-kan, betapa bisa membiarkan mangsa luput dari
pengamatan?"
sahut orang itu. Kemudian melesat menyerang dengan bertubi-tubi.
Wirapati
memang telah mendongkol pada-nya dan mengira orang itu salah seorang begundal
Pangeran Bumi Gede. Maka begitu ia diserang bertubi-tubi terus saja membalik
tangan dan membalas menyerang. Ternyata orang itu bukan tokoh sembarangan. Dia
bisa mengelakkan serangan Wirapati dengan gesit dan teratur. Tetapi betapa dia
bisa melayani seorang tokoh semacam Wirapati yang sudah mempunyai pengalaman
bertempur berulang kali. Itulah sebabnya, belum sampai tujuh gebrakan dia kena
dipentalkan sampai terce-bur ke dalam rawa. Untung, Wirapati tiada niat
menghabisi nyawanya. Dengan tak memedulikan lagi, ia melanjutkan perjalanan
mencari pesanggrahan.
Tak
lama kemudian sampailah dia di sim-pang jalan. Teringat keterangan pemilik
kedai, segera ia membelok ke kanan. Tak jauh di depannya terbentanglah sebuah
dusun yang dilingkari rumpun bambu. Maka cepat-cepat ia menghampiri. Pikirnya
dalam hati, menurut keterangan pemilik kedai kemarin, di sinilah letak
pesanggrahan majikan yang disebut Gusti Pangeran.
Tetapi
keadaan dusun itu lengang sunyi. Diam-diam ia jadi curiga. Mendadak di tengah
kesunyiannya, cepat-cepat ia mendengar seorang anak menangis. Anehnya,
datangnya dari arah gerumbul. Segera ia bersiaga dan menduga ada sesuatu
peristiwa yang kurang beres. Apakah laskar Pangeran Bumi Gede sudah tiba
dahulu, pikirnya sibuk.
Dengan
berjingkat ia mendekati gerombol. Ternyata suara tangis itu lenyap tiada bekas.
"Ssst! Siapa yang menangis di situ?" Wirapati berbisik. Tiada
jawaban. Karena itu kesunyian dusun kian terasa.
"Ssst!
Siapa menangis di situ?" Wirapati mengulang sambil merayap mendekati.
Sekonyong-konyong
gerumbul bergerak perlahan-lahan. Terdengar kemudian geme-risik daun-daun
kering. Dengan tersenyum Wirapati terus saja melompat dan menyambar.
Anak
yang menangis ternyata seorang gadis kecil kira-kira berumur 10 tahun. Ia
ketakutan setengah mati sampai menjerit tinggi. Tubuhnya menggigil.
"Adik
kecil, jangan takut. Di manakah rumahmu? Siapa ayah-bundamu dan mengapa
menangis di sini?" Wirapati terus memberondongi dengan tiga pertanyaan
sekaligus. Sudah barang tentu si anak tak pandai menjawab, apalagi dalam
ketakutan. Meskipun seumpama dalam keadaan wajar, belum tentu pula bisa
menjawab. Pertama-tama, Wirapati seorang yang masih asing baginya. Kedua,
pertanyaannya dilontarkan dengan gaya kuat dan sangat cepat.
Untunglah,
betapa pun juga Wirapati se-orang pemuda yang sudah berpengalaman. Segera ia
insyaf, pertanyaannya malah menakutkan. Maka cepat-cepat ia melepaskan
tangannya. Kemudian dengan wajah terang-benderang mengalihkan pertanyaannya,
"Adik
kecil, kau tahu di mana letak pesang-grahan Gusti Pangeran?"
Mendadak
saja gadis kecil itu jadi ketakutan. Wajahnya pucat lesi. Ia mundur selangkah
dan nampak hendak melarikan diri.
"Ssst
adik kecil! Jangan takut! Aku adalah sahabat bapakmu," Wirapati
cepat-cepat ber-kata membohong.
"Bohong!
Bohong! Kaulah yang membunuh Ayah," jerit anak itu dengan bibir
bergemetar.
Mendengar
sangkalan anak itu, Wirapati tercekat hatinya. Sekaligus tahulah dia apa yang
telah terjadi di dusun ini, meskipun masih terasa samar-samar.
"Siapa
yang membunuh ayahmu? Sekarang di mana dia?" Wirapati mendesak.
Si
anak tadi tak menjawab. Matanya liar dan mengarah ke arah tenggara. Sebagai
seorang yang sudah berpengalaman, tak perlu lagi Wirapati menunggu keterangan.
Terus saja ia melesat mengarah ke tenggara. Dan setelah melewati rumpun bambu
yang merupakan pagar alam, tibalah dia pada suatu halaman luas. Di sana berdiri
sebuah rumah bambu yang teratur rapi.
"Hai,
apakah ini pesanggrahan yang dikata-kan pemilik kedai?" ia menduga.
Hati-hati
ia menghampiri dari pohon kepo-hon. Keadaannya sunyi pula seperti tiada
penghuninya. Sekonyong-konyong ia melihat suatu pemandangan yang mengejutkan.
Di pendapa rumah itu, nampak empat orang yang tergantung terbalik. Kaki mereka
masing-masing diikatkan pada tiang atap, sehingga bergantungan mirip kelelawar.
Tatkala
Wirapati menajamkan penglihatan, ternyata mereka terdiri dari dua laki-laki dan
dua perempuan. Usia mereka telah lanjut. Rambutnya telah memutih. Karena itu
betapa kejam orang yang menyiksanya sungguh di luar batas-batas kemanusiaan.
Darah
Wirapati sekaligus terbangun dah-syat. Tanpa memikirkan keselamatan diri, terus
saja dia mengumpat,
"Hai,
siapakah yang berani berlaku sewe-nang-wenang ini?" Dalam kegusarannya,
lan-tas ia berseru: "Tuan rumah! Ada orang tergantung!"
la
memeriksa keadaan mereka. Ternyata mereka berlumuran darah dan napasnya telah
berhenti. Segera ia melemparkan pandang ke arah pintu yang terkunci rapat.
Dengan mengerahkan tenaga ia mendorong pintu, tetapi tak bergeming. Heran dia,
nampaknya diganjal batu dari belakang. Mendadak ia mendengar suara parau sangat
lemah.
"Anak
muda! Lekas tolong Gusti Pangeran... dia tersekap di dalam. Musuh telah tiba.
Kami semua tak mampu melindungi..."
Orang
yang berbicara itu, seorang laki-laki tua yang tergantung di pojok timur.
Segera Wirapati hendak menolongnya dahulu. Tetapi laki-laki itu cepat-cepat
menyanggah.
"Jangan
pedulikan aku... lekas masuk! Lebih cepat lebih baik..."
Tetapi
betapa dapat Wirapati membiarkan dia tergantung begitu. Tahu-tahu ia melompat
tinggi sambil menyabetkan senjata pamung-kas. Berbareng dengan turunnya
tangannya menyambar dan meletakkan orang tua itu ke tanah.
"Terima
kasih... " Orang itu tersekat-sekat lemah... "Cepat masuk..."
Mendengar per-mintaan orang itu demikian sungguh, Wirapati terus bangkit. Segera
ia kumpulkan tenaga Bayu Sejati ajaran Kyai Kasan Kesambi. Kemudian dengan
menggerakkan kedua tangannya menubruk. Maka terdengarlah suara gemerentang
keras dan batu yang mengganjel di balik pintu terpental bergulungan.
Sekonyong-konyong
terdengarlah seorang berkata dari dalam.
"Ha....
ilmu Bayu Sejati perguruan Gunung Damar ternyata benar-benar bukan omong
kosong.
Wirapati,
letakkan keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram ke tanah. Segera engkau akan
kuberi seekor kuda dan sedikit hadiah agar bisa pulang ke gunung dengan
selamat."
Wirapati
terkejut. Diam-diam tergeraklah ingatannya seakan-akan pernah mengenal suara
itu. Pikirnya menebak-nebak, bukankah ini suara pemilik kedai? Hm... atau
mungkin kebetulan bernada sama? Kemudian berkata mencoba, "Agaknya Tuan
mengenal namaku. Dan darimana pula Tuan mengenal kedua pusaka yang kubawa
ini?"
"Hi
ha ha... di seluruh jagad ini siapakah yang tak mengenal nama murid keempat
Kyai Kasan Kesambi? Semenjak berada di selatan Magelang, bukankah kita telah
pernah berte-mu?"
Mendengar
jawaban orang itu, keragu-raguan Wirapati hilang sekaligus. Kini timbulan rasa
gusarnya, karena sadar lagi dipermainkan orang-orang tertentu. Maka ia
membentak, "Bagus! Kiranya Tuan yang berpura-pura menjual makanan di kedai
dahulu. Mengapa Tuan tidak meracuni aku saja. Bukankah lebih gampang?"
"Hm...
perbuatan demikian, bukanlah layak seorang ksatria. Tetapi andaikata engkau
kepingin kuracuni, itu bukanlah suatu peker-jaan yang sukar. Bukankah engkau
tadi habis menolong seorang tak berguna yang kugan-tung di luar? Nah, seluruh
pakaiannya telah kulumuri racun. Ha-ha-ha..."
Wirapati
terperanjat bukan kepalang. Sekaligus tahulah dia, bahwa dia lagi meng-hadapi
musuh yang bisa bedaku keji. Diam-diam ia mengerahkan tenaga gendam untuk menolak
racun, sambil membentak, "Selamanya kita tak pernah bermusuhan, apa sebab
tiba-tiba kau bisa berlaku begini keji? Siapakah namamu?"
"Kami
bukan sanak bukan kadang. Juga tiada mempunyai dendam atau berniat memusuhi.
Aku hanya menghendaki agar keris dan bende yang kau bawa itu, letakkan saja di
tanah. Segera engkau akan kuberi obat pemusnahnya."
"Hm...
apakah kedua pusaka ini milikmu?"
"Bukan!
Bukan!" sahut orang itu cepat. "Tetapi siapakah yang tak ingin
memiliki kedua pusaka wasiat itu?"
"Tepat
ucapanmu. Karena itu, sesudah kedua pusaka wasiat berada di tanganku... akan
kubawa dahulu ke gunung. Aku merasa bodoh dan kurang pengalaman. Biarlah guru
sendiri yang akan memutuskan."
Orang
yang berada di dalam kemudian berkata lagi tetapi suaranya kurang jelas.
Terdengar gumamnya, "... namaku... tentang pusaka itu..."
"Kau
berkata apa?" Wirapati menajamkan telinga sambil maju memasuki ambang
pintu. Pada saat itu, tiba-tiba seluruh tubuh
Wirapati
terasa gatal dan sakit seperti tergigit semut merah. Ia menyangka hanya rasa
gatal lumrah. Maka sambil menggaruk ia berkata menegaskan. "Sudah berpuluh
nyawa yang melayang ke dunia akhirat semata-mata kare-na dua pusaka itu.
Cukuplah sudah, orang saling membunuh dan mendendam. Kini harus kupersembahkan
dahulu kepada guru. Pada saat ini, mungkin guru tengah menerima kunjungan
tamu-tamu dari berbagai daerah. Silakan kau datang saja. Siapa tahu, kaulah
yang kejatuhan rejeki."
Terdengar
orang di dalam mendengus dan berkata, "Nama perguruan Gunung Damar terlalu
menakutkan aku. Lagi pula engkau telah kena senjata racunku. Lekaslah letakkan
kedua pusaka itu ke tanah dan aku akan segera menghaturkan obat
pemusnahnya."
Mendengar
orang itu mengulangi istilah racun untuk yang kedua kalinya, Wirapati kini
benar-benar menaruh perhatian. Gugup ia meraba bagian tubuhnya yang terasa
gatal. Mendadak rasa gatal itu berubah menjadi pegal nyeri. Apakah aku telah
kena racun! pi-kirnya. Tak terasa ia menoleh ke arah orang yang ditolongnya.
Betapa kagetnya, karena baik orang yang ditolong maupun yang tergan-tung tadi,
telah lenyap tiada bekasnya.
"Ah!"
Wirapati tiba-tiba sadar. "Rupanya sewaktu aku lagi membongkar pintu dan
terli-bat dalam percakapan, mereka telah menghi-lang dengan diam-diam."
Maka
timbullah gusarnya. Terus saja mem-bentak, "Kauhilang, aku kena
racun?"
"Hi
ha ha... kematian telah mengambang di depan hidungmu, namun belum juga sadar?
Sewaktu kau kupancing dengan suara lapat-Iapat, bukankah kau maju selangkah
memasuki ambang pintu? Nah... memang racunku bukan sembarang racun. Itulah
racun yang pernah kau kenal dua belas tahun yang lalu. Meskipun berbeda, tapi
cara kerjanya setali tiga uang.
Diingatkan
pada racun Pangeran Bumi Gede yang menghabisi nyawa Gandi dan Wayan Suage,
mendidihlah darahnya. Tetapi kini badan sendiri kena racun itu pula, diam-diam
ia mengeluh dalam hati. la kenal cara kerja racun tersebut amat jahat. Meskipun
racun yang mengenai dirinya ini agak berbeda, tetapi yakinlah dia bahwa tiada
jalan lain kecuali merampas obat pemusnahnya. Maka setelah mengambil keputusan
demikian, segera ia bersiaga. Di dalam rumah nampak remang-remang, bahkan agak
gelap. Tak peduli mungkin ada jebakan lain, cepat-cepat ia melindungi mukanya
dengan tangan kiri sedangkan dadanya dilindungi dengan tangan kanan. Kemudian
melesat masuk ke dalam rumah sambil melontarkan serangan.
"Jahanam!
Apakah engkau sanak Pangeran Bumi Gede sampai memiliki racun keji pula?"
bentaknya.
Belum
lagi dia berdiri tegak, dari balik pintu terdengar angin menyambar. Cepat ia
memba-likkan tangan dan menghantam dengan seku-at tenaga. Plak! Dua tangan
beradu dengan dahsyat dan kedua-duanya tergetar mundur selangkah.
Wirapati
kaget, karena tangannya terasa pedih. Ternyata ia kena suatu tipu licik.
Tangannya tercocok paku-paku tajam. Terang sekali musuhnya menyongsong
pukulannya dengan menjepit paku-paku beracun diantara jari-jarinya. Keruan
saja, Wirapati menggeram karena marah. Diam-diam ia heran pula apa sebab musuh
yang ternyata setanding kuatnya menggunakan tipu serendah demikian.
Sementara
itu terdengar orang itu berkata dengan lemah-lembut. "Saudara! Gntuk
ketiga kalinya, engkau kena racunku. Racunku kali ini terbuat dari duri-duri
Rukem. Meskipun andaikata engkau kebal dari senjata, tetapi apabila kena
tercocok duri Rukem pasti akan keracunan. Tenagamu luar biasa hebat. Aku kagum!
Benar-benar kagum! Tapi sayang, umurmu takkan bisa tahan sampai matahari
tenggelam. Nah, letakkan kedua pusaka itu ke tanah. Segera akan kuberikan obat
pemusnahnya."
Karena
geram dan mendongkol, Wirapati menghunus keris pusaka Kyai Tunggulmanik dan
terus menyerang dengan sekuat tenaga. Orang itu dengan gugup menangkis serangan
Wirapati dengan tongkat besi panjang bekas palang pintu. Tetapi begitu kena
keris Tunggulmanik, mendadak saja terpotong menjadi dua seperti terajang.
Baik
Wirapati maupun orang itu terkejut sampai memekik tertahan. Wirapati tak
men-duga, bahwa keris yang nampak tak menarik sama sekali mempunyai ketajaman
dan tena-ga kuat luar biasa. Sedangkan orang itu heran tak kepalang, bahwa
tongkat besinya kena terpotong begitu mudah.
Memperoleh
kepercayaan baru, Wirapati segera menyerang kalang-kabut seperti ban-teng
terluka. Orang itu jadi kelabakan. Karena di dalam rumah merasa terjepit
terpaksalah dia melompat keluar dan berdiri tegak di pendapa. Tetapi belum lagi
dia bersiaga, serangan Wirapati datang bertubi-tubi. Gugup ia menyambar daun
pintu yang telah runtuh menangkis serangan Wirapati sejadi-jadinya. Juga tak
mampu menahan ketajaman keris Kyai Tunggulmanik. Begitu kena babatan, terus
saja somplak menjadi dua potong. Cepat-cepat orang itu melesat mundur sambil
berteriak. "Kau sayang nyawamu ataukah keris itu? Kalau kau sayang keris
itu akan kutinggal bersembunyi. Sebentar sore, bukankah engkau telah menjadi
bangkai."
"Baik!
Kau beri obat pemusnah racunmu yang keji ini. Kuserahkan keris Kyai
Tunggulmanik,"
sahut
Wirapati. Kini seluruh tubuhnya mulai terasa nyeri luar biasa dan gatal.
Tahulah dia, racun sudah bekerja. Tentang keris itu. Apabila racun terpunahkan
masakan takkan dapat merebut kembali?" Tak terduga orang itu berkata lagi,
"letakkan pula Bende Mataram! Masakan aku akan kena
kaukecohi?"
Terpaksa
pulalah Wirapati meletakkan pusaka Bende Mataram ke tanah di dekat keris Kyai
Tunggulmanik. Orang itu sangat girang dan dengan cepat mengambilnya, la
menciumi dan mengusap-usap tiada henti. Dan sampai lama tak mengeluarkan obat
pemusnah.
Lambat
tapi pasti, kaki Wirapati telah menjadi kaku. Maka dia menegur.
"Hai...
katanya engkau akan memberi obat pemusnah, manakala telah kuserahkan kedua
pusaka itu."
Mendengar
teguran Wirapati, orang itu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak seolah-olah lagi
mendengarkan suatu cerita yang kocak. Kemudian berkata, "Ahahaaa...
kauhilang apa?"
"Aku
menagih janjimu. Di manakah obat pemusnahnya? Nah, apakah yang lucu?"
Wirapati mendongkol sambil menahan rasa nyerinya.
"Hoho...
hihaho..." kembali orang itu tertawa terbahak-bahak. Sambil menuding
hidung Wirapati dia berkata: "Sungguh tak terduga, bahwa murid Kyai Kasan
Kesambi yang terkenal jempolan ternyata tolol tiada berotak. Hm, hm... mengapa
kau begini tolol menye-rahkan kedua pusaka sebelum aku menye-rahkan obat
pemusnah terlebih dahulu?"
"Seorang
ksatria sejati manakala sudah berkata, masakan akan menjilat kembali ludahnya?
Aku sudah setuju hendak menukar obat pemusnah dengan kedua pusaka ini, betapa
aku akan mungkir janji? Kauberikan terlebih dahulu atau tidak kukira tiada
beda."
"Jika
kau tetap memegang keris pusaka dan wasiat Benda Mataram ini betapa pun juga
aku takut padamu. Tapi kini, kedua pusaka ini telah berada di tanganku. Masakan
masih perlu menukar dengan obat pemusnah segala?"
Seketika
itu juga mendidihlah darah Wirapati. la heran, selama hidupnya belum pernah
bermusuhan dengan orang itu. la per-caya juga, saudara-seperguruannya pun tidak
pernah bermusuhan. Sebab apabila pernah bentrok, pastilah dia sudah pernah
mendengar. Karena murid Kyai Kasan Kesambi selalu melaporkan sepak terjangnya
apabila turun gunung.
"Saudara!
Ilmumu tidak rendah. Tampang-mu seorang ksatria. Aku tak percaya engkau bisa
berlaku rendah seperti orang tak terna-ma," kata Wirapati masih
menyabarkan diri.
Orang
itu seperti tak menghiraukan. Berkata acuh tak acuh. "Wirapati baiklah
kuterangkan padamu tentang kasiat racunku. Kau tadi kena racun tiga kali
berturut-turut. Yang penghabisan kali adalah jenis racun terlalu jahat. Selain
duri Rukem sangat beracun, ujungnya kulumuri pula dengan bisa ular. Karena itu
dalam waktu 12 jam, seluruh dagingmu akan menjadi busuk dan rontok. Sebentar
lagi kau akan lumpuh. Malahan kau akan menjadi orang yang bisu dan pekak.
Kecuali obat pemusnah dariku, tiada obat pemusnah lain di seluruh dunia ini
yang akan kautemukan. Baiklah, andaikata aku menyerahkan juga obat pemusnah,
paling-paling aku hanya bisa menolong nyawamu. Tapi ilmu saktimu akan lenyap
seperti kotoran tersapu air. Hm... sayang, sayang... agaknya aku pun enggan
menyerahkan obat pemusnah. Bukankah tiada guna? Apakah artinya hidup dengan
menanggung cacat jasmaniah? Kukira lebih baik kau mati sajalah."
Wirapati
terhenyak sejenak. Kamudian menjawab tegas.
"Mati
dan hidup seorang ksatria tergantung kepada takdir lllahi belaka. Aku Wirapati
murid keempat Kyai Kesambi selamnya dididik menjadi seorang laki-laki yang
bersikap terus terang tanpa main licik dan menodong dari belakang punggung.
Meskipun kini aku ter-paksa mati ditangan manusia berbudi rendah, masakan aku
harus menyesal atau takut?"
Mendengar
ucapan Wirapati yang gagah dan tegas itu, mau tak mau orang itu tercegang
sejenak. Kemudian dengan mengacungkan jempolnya, dia berkata lemah-lembut
seperti seorang sahabat lama.
"Hebat!
Benar-benar hebat! Anak-murid Kyai Kasan Kesambi benar-benar pantas di-kagumi
orang. Tak terhitung ksatria-ksatria yang terkenal sakti, mati ditanganku kena
racunku. Biasanya mereka merintih minta ampun atau menyembah-nyembah meng-harap
obat pemusnahku. Ada pula yang menangis menggerung-gerung. Yang ber-kepala batu
paling tidak mencaci maki habis-habisan. Tapi mendengar dan menyaksikan betapa
engkau begitu tegas, gagah dan bisa berlaku tenang menghadapi saat ajalmu,
sungguh aku kagum luar biasa."
"Hm...." Wirapati mendengus. "Siapakah sebenarnya namamu dan apakah hubungan-nya
dengan
Pangeran Bumi Gede? Apakah dia saudara seperguruanmu atau majikanmu?"
"Ah,
aku hanya seorang perantau tiada bernama. Apa perlu memperkenalkan nama segala.
Lagi pula guna faedahnya tiada. Sebentar lagi, kau akan menjenakkan napas-mu
yang penghabisan di tempat begini asing. Masakan saudara-saudara seperguruanmu
akan mengerti sebab musababnya? Meskipun gurumu seorang sakti tiada
bandingannya pada zaman ini....
hm....
hm.... jangan harap dia dapat mencari daku."
Sementara
itu, seluruh tubuh Wirapati telah mulai kaku. la merasa kesakitan luar biasa,
karena seolah-olah tertusuk ribuan jarum dari dalam. Diam-diam ia berpikir,
hari ini rupanya telah menjadi takdirku aku mati di sini. Baiklah jika aku
mati, biarlah mati berbareng.
Memperoleh
pikiran demikian, matanya mengerling kepada belahan daun pintu yang tergeletak
tak jauh didepannya. Tatkala itu, mendadak saja munculan empat orang laki-laki
dari samping rumah. Siapa lagi kalau bukan Malangyuda, Panji Pengalasan, orang
di tengah jembatan dan si tukang pancing. Kemudian muncul lagi empat orang yang
tadi tergantung dipendapa. Terang sekali semua-nya itu adalah rangkaian
permainan yang sudah diatur sebelumnya dengan rapi. Munculnya mereka
seolah-olah telah yakin, bahwa Wirapati sebentar lagi akan berangkat pulang ke
alam baka. Pandangan mata mereka tenang-tenang saja seakan-akan tiada kesan
tertentu.
Melihat
mereka, Wirapati terus saja me-nyambar daun pintu. Kemudian menimpuk-kan sambil
menghantam sekuat tenaga. Se-rangannya kali ini membersit dari suatu kesadaran
bahwa tiada jalan lain lagi hendak mengelakkan malapetaka. Maka tenaga yang
dilontarkan adalah tenaga penghabisan sese-orang yang tengah menghadapi saat
ajalnya. Hebatnya luar biasa dan serba tangkas diluar dugaan.
Karena
serangan mendadak ini, mereka semua terperanjat sampai memekik. Orang yang
tengah mengamat-amati pusaka Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram itu seperti
terpaku di tanah. Ingatannya seperti kosong dari segala menghadapi serangan
maut. Tatkala teringat akan keris pusaka, buru-buru ia mencoba menangkis.
Tetapi kasep. Daun pintu dan gempuran Wirapati telah tiba berturut-turut.
Diam-diam ia mengeluh bakal mampus seketika itu juga. Sekonyong-konyong gadanya
tertolak ke samping. Ternyata salah seorang kawannya berani mengorbankan diri
dengan menubruknya ke samping.
Meskipun
ia terluput dari timpukan daun pintu tetapi hantaman Wirapati mengenai juga
perutnya. Seketika itu juga, ia terjungkal. Tetapi racun di dalam dirinya kian
bergolak. Penglihatannya makin lama makin kabur. Remang-remang ia melihat
teman-teman orang itu. Mereka mengepung dari samping. Segera ia menjejak kaki
hendak mengirimkan gempuran. Tak terduga, tenaganya seperti ter-lolosi. Dengan
lemas lunglai kakinya menekuk ke tanah. Penglihatannya terus menjadi gelap.
Pada saat itu ia jadi tak sadarkan diri!
"Bangsat!
Bangsat! Bunuhlah!" Terdengar jerit melengking. Itulah jerit orang yang
kena hantaman Wirapati. Setelah sadar dari pingsannya, dengan melambung
setinggi leher. Ia hendak bangkit, tetapi tenaganya punah.
"Tenangkan!
Tenangkan! Meskipun susah kita memukulnya dia akan mati sendiri," sahut
Panji Pengalasan. "Sekarang apakah yang akan kita lakukan!"
"Mengapa
bersusah payah memikirkan yang bukan-bukan. Bawalah dia kembali ke gunungnya.
Kita letakkan mayatnya di kaki gunung. Dengan begitu ia kan mati merem di alam
baka," sahut yang lain. Dialah si tukang pancing yang kena dipentalkan
Wirapati sam-pai tercebur ke dalam rawa.
"Nanti
dahulu!" teriak Malangyuda. "Dia pernah menghantam dadaku di depan
warung. Terpaksalah aku menelan kekalahan itu demi rencana kita. Kini, biarlah
aku mematahkan tulang-tulangnya sebelum masuk kubur.
Saat
itu, perlahan-lahan Wirapati mulai sadar kembali karena kekuatan jasmaniahnya.
Mendadak saja, lengannya terasa diringkus orang. Krak! Krak! Lengan dan kakinya
dipatahkan, la hendak menjerit kesakitan, tetapi mulutnya terbungkam. Ternyata
ia telah menjadi bisu karena racun. Dan kembali ia pingsan tak sadarkan diri
untuk yang kedua kalinya.
Demikianlah
maka apa yang terjadi tiada tiada dapat diingatnya kembali. Pada ke-esokkan
harinya, tatkala Sangaji turun gunung hendak menyusulnya, tubuhnya diketemukan
di tepi jalan dekat kaki Gunung Damar. Betapa terkejut Sangaji tak terperikan.
Cepat ia dibungkuki. Dibalik tubuhnya yang telah menjadi dingin, lapat-lapat
terdengar detak jantungnya.
"Guru....!
Guru....! Siapa yang menyiksamu?" jerit Sangaji.
Dengan
hati berdebar tak karuan. Sangaji terus memapahnya. Wajah Wirapati nampak
pucat.
Matanya
terpejam. Ruas-ruas tulangnya berlumuran darah.
"Guru!
Lihatlah.... Aku Sangaji.... murid-mu...." teriak Sangaji pilu.
Gugup
pemuda itu terus lompat ke atas kudanya dan melarikan sepesat angin menuju ke
gunung.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 21 PERJALANAN WIRAPATI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini tentang Cah Bantul ini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 21 PERJALANAN WIRAPATI"
Posting Komentar