BENDE MATARAM JILID 18 HANTU BERKELIARAN DI SIANG HARI
SEKEMBALINYA
dari pesanggrahan Gusti Retnoningsih, Sangaji dan Titisari terus mencari
kudanya. Kemudian melanjutkan perjalanan mengarah ke timur. Setelah hari hampir
mendekati luhur, sampailah mereka di suatu jalanan yang sulit. Di depan mereka,
bukit-bukit mulai menghadang. Gundukan-gundukan tanah yang menyekati
perjalanan, penuh batu-batu tajam dan semak-belukar.
Mereka
kemudian beristirahat. Setelah memperoleh pohon rimbun, segera mereka merebahkan
diri. Dan sebentar saja, sudah memasuki alam lain. Maklumlah, satu malam suntuk
mereka
berada
dalam ketegangan. Seluruh urat-syarafhya bekerja dengan mati-matian, dan
sekarang mendapat kesempatan untuk bernapas. Tetapi hidup ini memang kerdil.
Belum lagi mereka tidur lelap selama satu jam, tiba-tiba pendengaran mereka
yang tajam menangkap bunyi derap kuda. Seperti saling berjanji, mereka
menegakkan kepala dan sambil bertiarap terus mengarahkan pandangannya.
Herannya, mereka melihat San-jaya yang datang berderap dengan diikuti seorang
laki-laki pendek tegap. Dialah pendekar Abdulrasim dari Madura. Dan ketika
sampai di gundukan, Sanjaya melompat ke tanah dan menuntun kudanya. Abdulrasim
pun menirukan perbuatan majikannya. Dengan demikian, mereka kini meneruskan
perjalanan dengan berjalan kaki.
"Di
manakah terjadinya pertempuran itu?" Sanjaya minta penjelasan kepada
Abdulrasim.
"Yuyu
Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau dan Sawungrana sudah berhasil mengejarnya.
Kemungkinan sekali, mereka berada tak jauh dari sini. Mari!"
Dengan
cepat mereka menuruni gundukan. Kemudian sambil melompat ke atas punggung,
cemetinya menghajar paha kudanya kalang-kabut. Terang sekali, bahwa mereka
dalam keadaan tergesa-gesa.
Setelah
mereka lenyap di balik gerombol pohon, Sangaji dan Titisari bangkit dengan
berbareng.
Mereka
saling pandang dengan kepala berteka-teki.
"Sungguh
berbahaya!" bisik Titisari. "Seumpama ular itu mengetahui diri kita,
mau tak mau kita terpaksa berolahraga. Untunglah kita mempunyai kebiasaan
mencencang kuda jauh dari tempat kita beristirahat."
"Apa
yang membahayakan?"
"Hm,
anak pamanmu itu, licin seperti ular. Kau harus berhati-hati."
Sangaji
tertawa melalui hidung. "Dia lagi tersesat. Sekiranya kelak aku berhasil
menyadarkan pasti dia akan kembali ke jalan yang benar," katanya.
"Hm,"
dengus Titisari. Kemudian tanpa menoleh ia mencari kudanya. Sangaji mengikuti
dari belakang.
"Aji!"
kata gadis itu lagi. "Kau jangan enak-enak berdendang. Mereka tadi
membicarakan tentang pertempuran. Siapa yang sedang mereka kejar, itulah yang
harus kauperhatikan."
"Apa
sangkut-pautnya dengan aku?"
Titisari
tak segera menjawab, la melompat ke atas punggung kudanya. Seraya menarik
kendali, ia berkata mengajak.
"Kau
ikut, tidak? Aku ingin melihat siapakah yang lagi bertempur."
Sebenarnya
Sangaji ingin cepat-cepat menuju ke Sejiwan. Gunung Damar sudah berdiri di
depan. Oleh petunjuk Nuraini dahulu tahulah dia, bahwa Dusun Sejiwan berada di
baliknya, la khawatir, gurunya sudah terlalu lama menunggu dirinya. Tapi
mengingat tabiat kekasihnya yang rupanya dimanjakan keluarganya, maka mau tak
mau ia harus pandai membawa diri. Demikianlah, ia menyertainya tanpa membantah.
Mereka
menuruni gundukan dan mengikuti jejak kuda Sanjaya. Willem adalah seekor kuda
yang benar-benar perkasa serta cekatan. Seperti pandai membaca gejolak hati
majikannya, ia terus berderap kencang mengikuti jejak. Itulah sebabnya, dengan
cepat mereka berdua telah sampai di suatu lapangan yang berada di dekat tebing
Sungai Bogowonto.
"Lihat!
Mereka benar-benar sedang bertempur!" seru Titisari.
Waktu
Sangaji mengamat-amati, nampaklah dua orang laki-laki setengah umur sedang
berkelahi dengan sengit menghadapi keroyokan enam orang.
"Hai!"
Titisari cemas, "Bukankah itu gurumu? Paman Wirapati!"
Mendengar
ucapan Titisari, Sangaji terkesiap. Cepat ia menjepit perut Willem. Kuda itu
lantas
saja
meloncat dan terbang secepat kilat. Apabila sudah berada di tepi lapangan tak
usahlah Sangaji beragu lagi. Memang, gurunya sedang bertempur melawan kerubutan
lawan. Lantas siapakah yang berada di sampingnya membantu gurunya itu? Pahlawan
itu sebaya dengan usia gurunya. Hanya saja tubuhnya agak pendek tetapi berkesan
lebih kokoh dan mantap.
Mereka
mempergunakan senjatanya ma-sing-masing. Suatu tanda, bahwa mereka memasuki saat-saat
yang tegang dan tak berani merendahkan lawannya. Dengan demikian, senjata
mereka nampak berkere-depan di tengah matahari yang bersinar terik.
"Hai!
Siapakah yang bertempur tak mengenal tata-tertib?" teriak Titisari
melengking. Mereka berhenti bertempur sejenak, tetapi sesaat kemudian
perkelahian mulai lagi. Bahkan makin sengit dan seru.
"Guru!
Biarlah aku memasuki gelanggang!" seru Sangaji. Suara Sangaji kini jauh
berbeda dengan dua bulan yang lalu. Dia kini sudah memiliki tata-pernapasan
ilmu sakti Kumayan Jati. Karena itu suaranya bertenaga hebat bagaikan gerung
harimau terluka. Karuan saja, mereka yang bertempur jadi kaget, sampai tanpa
disadari sendiri masing-masing melompat mundur dua langkah. Sangaji pun tak
terkecuali. Selama menekuni ilmu Gagak Seta, belum pernah sekali juga dia
berteriak. Diamdiam ia bersyukur dalam hati, karena ternyata kepandaiannya kini
bertambah maju tanpa sadar. Sebaliknya mendengar suara itu— meskipun bertenaga
luar biasa—Wirapati segera mengenalnya. Dengan setengah tercengang, ia berseru
girang, "Apakah anakku Sangaji berada di sana?"
Wirapati
ternyata tak berani lengah barang sebentar pun sehingga tiada menoleh.
"Benar,
aku Sangaji!" sahut Sangaji.
Karena
girangnya Wirapati terus saja menjejak tanah dan berlompat berjumpalitan di
udara. Sudah sering Sangaji menyaksikan kepandaian gurunya berjumpalitan di
udara. Tapi kali ini, dia benar-benar kagum. Karena tanpa melihat, Wirapati
dapat berjumpalitan terbang di udara dan turun dengan manis sekali satu langkah
di depannya. Kalau Sangaji sendiri sebagai muridnya terus kagum, lainnya tak
usah dibicarakan lagi. Mereka tercengang-cengang sampai mulutnya
terlongoh-longoh. Ternyata mereka adalah Yuyu Rumpung, Abdulrasim, Manyarsewu,
Cocak Hijau, Sawungrana dan Sanjaya. Hanya orang yang membantu Wirapati itu
sajalah yang masih nampak tak bergerak dari tempatnya. Pandang matanya tetap
tajam dan angker.
"Kangmas
Bagus Kempong! Inilah muridku selama pergi meninggalkan perguruanku," seru
Wirapati. Kemudian ia mengarah kepada Sangaji, "Aji! Dialah paman gedemu )
kakak-seperguruanku."
Sangaji
adalah seorang pemuda yang mengutamakan tata-santun di atas segalanya. Maka
begitu mendengar ujar gurunya, terus saja menghampiri dan membungkuk hormat
kepada Bagus Kempong.
"Anakku
terima-kasih. Siapa namamu?" kata Bagus Kempong sambil mendengarkan
kelegaan hatinya.
"Sangaji."
"Nama
bagus!" pujinya. Kemudian berseru kepada Wirapati, "Adik Wirapati!
Engkau me-nemukan bahan bagus dan luar biasa. Muridmu begini hebat!"
Wirapati
terus menghampiri dan memeluknya dari belakang. Bagus Kempong membalas pelukan
itu pula. Nampaknya mereka tak mengacuhkan kehadiran lawannya yang berjumlah
lebih banyak dan bersiaga menyerang dengan tiba-tiba.
"Eh,
monyet! Anjing!" Maki seorang laki-laki berkepala botak dan bertubuh
pendek. "Kamu akan segera berangkat ke neraka apa perlu berpeluk-pelukan
seperti perempuan?"
"Eh,
kaubangkotan jahanam, masih beranikah mengumbar suara di hadapanku?"
tiba-tiba Titisari menyahut tajam.
Mendengar
suara Titisari, Bagus Kempong menoleh. Kemudian bertanya kepada Wirapati,
"Siapakah Nona ini?"
Belum
lagi Wirapati menjawab, Sangaji cepat-cepat memberi penjelasan. "Dia
adalah kawanku berjalan, Paman."
"Oh,"
terdengar Bagus Kempong tercengang. Tetapi dia tak berkata lagi. Dalam pada
itu, Yuyu Rumpung maju selangkah dengan pandang berkilat-kilat. "Aku tidak
berbicara kepadamu, mengapa kamu begini kurang ajar?"
"Eh,
enak saja kamu bicara," damprat Titisari berani. "Kauhilang, pamanku
ber-peluk-pelukan seperti perempuan. Kautahu, di antara semua yang berada di
sini, hanya akulah seorang perempuan. Nah, bukankah kamu menghina aku?"
Wajah
Yuyu Rumpung berubah. Tetapi karena ucapan Titisari benar, mau tak mau ia harus
menelan rasa gusarnya. Sekonyong-konyong pendekar Abdulrasim berkata nyaring.
"Nona!
Bukankah kita sudah saling mengenal?"
"Lantas?"
"Nona
adalah puteri Adipati Surengpati. Terimalah hormatku. Kemudian kupinta, agar
Nona jangan ikut campur dalam urusan ini."
Abdulrasim
rupanya masih teringat akan peringatan sang Dewaresi dahulu di halaman
kadipaten, bahwa sekali-kali jangan melibatkan diri dengan puteri Adipati
Surengpati. Karena apabila sampai terli-bat, urusan bisa jadi runyam. Adipati
Surengpati yang disegani dan ditakuti semua orang gagah di penjuru tanah air ini,
bagaimana bisa tinggal diam apabila mendengar puterinya dihina seseorang. Maka
pendekar itu mencoba membersihkan diri. Sebaliknya, tatkala Bagus Kempong
mendengar Abdulrasim menyebutkan nama Adipati Surengpati, ketika itu juga
berkerut-kerut-lah dahinya. Sebagai murid Kyai Kasan Kesambi, tahulah dia siapa
Adipati Surengpati. Meskipun belum pernah bersua dengan orangnya, tapi menurut
tutur-kata gurunya tidak begitu menyenangkan. Karena Adipati Surengpati
terkenal angkuh, kejam dan penyendiri.
"Sangaji,"
bisiknya, "... apakah kawanmu itu benar-benar puteri Adipati
Surengpati?"
Sangaji mengiakan sambil mengangguk, dan Bagus Kempong nampak menghela napas.
Dengan
pandang tajam ia mengawaskan gerak-gerik Titisari yang nampak berkesan liar.
"Aji!"
tiba-tiba Titisari berkata kepada Sangaji. "Bukankah itu sahabatmu.
Anak-angkat Pangeran Bumi Gede, Tuan Sanjaya? Hai, bagaimana dia bisa berada di
sini? Tolonglah tanyakan, di mana kini kakakku Nuraini berada?"
Mendengar
ujar Titisari, Sangaji terkejut dan tersipu-sipu. Sanjaya dan Abdulrasim
berubah hebat wajahnya. Mereka saling memandang dengan pandang keripuhan.
"Nona!
nDoromas Sanjaya adalah sesem-bahanku. Aku sudah bersikap hormat kepadamu,
mengapa engkau bersikap kurang ajar?" tegur Abdulrasim.
"Tak
bolehkah aku berkata sebenarnya?" sahut Titisari dengan tertawa.
Abdulrasim
jadi kuwalahan. Memang apa yang dikatakan Titisari adalah peristiwa sebenarnya.
Waktu itu dia pun lagi menghadap Sanjaya. Kemudian terdengar jendela rumah
diketuk orang. Dan tahu-tahu seorang gadis lemah-lembut sudah berada di dalam
kamar. Sebagai seorang pendekar, ia diajar menghargai ucapan seseorang yang
benar, meskipun akan menyakiti hati. Karena itu dia terpaksa membungkam mulut.
Sebaliknya
Sanjaya yang berhati licin, dengan tenang terus melangkah maju. la tersenyum
sambil mengangguk. Berkata lemah-lembut.
"Perkara
itu, bukankah bisa dibicarakan pada waktu lain? Pada saat ini, kami sedang
menghadapi suatu perkara yang harus kami selesaikan." la berhenti
mengesankan. Kemudian
mengarah
kepada Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau dan Sawungrana yang nampak tak
bersabar lagi. Berkata kepada mereka, "Apakah yang harus kita
lakukan?"
"Hm"
dengus Cocak Hijau. "Gadis itu, bukankah yang datang berkeluyuran di
halaman kadipaten?"
Sanjaya
terhenyak heran. Ia merenungi Titisari dengan pandang berkilat.
"Semenjak
dahulu... ingin aku memuntir lehernya," kata Cocak Hijau lagi,
"sekarang, jangan biarkan dia mengacau lagi. Serahkan dia kepadaku."
Tiba-tiba
terdengarlah suara tertawa halus tetapi tajam menusuk hati. Itulah guru
Sangaji, sang perwira Wirapati. Pendekar itu dengan maju selangkah terus
menungkas.
"Kata-katamu
tidaklah mudah engkau laksana-kan, selama aku masih berada di sini.
Cobalah!"
Kata-kata
Wirapati terkenal sederhana, tetapi berwibawa. Dan begitu mendengar ucapannya
Cocak Hijau yang berwatak bera-ngasan, lantas saja menggeser maju hendak
melancarkan serangan. Tetapi Sanjaya dengan cepat mencegah. Katanya angkuh
terhadap Wirapati.
"Antara
kami dan Tuan belum pernah berkenalan. Kecuali tatkala Tuan berada di alun-alun
kadipaten Pekalongan. Waktu itu, kami berlaku lapang dada. Mengingat Tuan tidak
tersangkut-paut dalam urusan dahulu. Tapi kini, lainlah halnya. Tuan berani
memasuki daerah terlarang kami. Tuan berani pula mengganggu pekerjaan kami.
Itulah suatu pantangan bagi kami. Nah, kembalikan pusaka itu!"
Mendengar
Sanjaya berbicara tentang pusaka, Sangaji kaget. Dengan wajah berubah tegang,
ia melemparkan pandang kepada Wirapati dan Titisari. Kemudian dengan perlahan-lahan
ia me-masuki gelanggang dan berdiri di samping gurunya.
"Kau
berbicara tentang apa?"
Wirapati
menegas dengan tenang.
"Tentang
pusaka warisan kami."
"Apa
sangkut-pautnya dengan kami?"
"Eh—hm."
Sanjaya tersenyum manis. "Kami bukan anak-anak yang belum pandai beringus.
Bukankah Tuan Guru si bocah tolol itu, kami mempunyai persoalan sendiri.
Beradanya Tuan di sekitar daerah terlarang itu, masakan secara kebetulan saja.
Mestinya bocah tolol itu sudah mengungkapkan rahasia pusaka warisan kami kepada
Tuan."
Sangaji
sudah biasa disebut sebagai anak tolol, la tak memedulikan. Sebaliknya tidaklah
demikian halnya Titisari, gadis yang memujanya di atas segala. Mendengar dia
disebut sebagai bocah tolol, serentak gusarlah gadis itu. Tajam dia mendamprat,
"Hai!
Kau berani mentolol-tololkan kawanku. Kau ular busuk, tutuplah mulutmu!"
la menoleh kepada Sangaji. Terus memberi saran, "Aji! Dulu, aku pernah
mendengar kisah gurumu yang galak berlawanan berbicara dengan pendeta edan
Hajar Karangpandan. Bahwasanya antara engkau dan ular itu mempunyai ganjelan
yang harus kauselesaikan. Inilah suatu kesempatan yang bagus sekali untuk
membuktikan, bahwa engkau bukanlah seorang pemuda tolol. Hajarlah dia biar
belajar bersopan santun. Kalau Kak Nuraini gusar, akulah lawannya."
HEBAT
KATA-KATA TITISARI. SEPERTI GELEDEK DI SIANG HARI mereka yang mendengar jadi
terpengaruh. Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Abdulrasim
tidak begitu jelas mengetahui persoalannya yang terjadi antara Sanjaya dan
Sangaji. Mereka hanya menebak-nebak belaka, setelah munculnya peristiwa Wayan
Suage dahulu di tengah lapangan hijau di Pekalongan. Meskipun tiada yang
membicarakan lagi, tetapi sedikit banyak masuk pula dalam perhatian mereka.
Secara samar-samar mereka mulai menduga-duga peristiwa gelap yang meliputi diri
Pangeran Bumi Gede, Raden Ayu Bumi Gede dan Sanjaya.
Terhadap
Sangaji dan Titisari, mereka berempat mempunyai pengalamannya sendiri. Yuyu
Rumpung mengenal Sangaji, sebagai seorang yang harus dihantam rampung. Karena
dia
menaruh
dendam sebesar bongkahan batu pegunungan. Maklumlah, kehormatan dirinya
terus-menerus merosot tak keruan semenjak terlibat dengan anak muda itu. Dan
Manyarsewu serta Cocak Hijau me-ngenal Sangaji selagi mengadu kepandaian
melawan Sanjaya di lapangan arena. Mereka berdua menyaksikan, bahwa Sanjaya
akan dapat mengalahkannya. Hanya saja, pemuda asing itu ulet luar biasa.
Sebaliknya Abdulrasim dan Sawungrana hanya mengenal Titisari belaka, tatkala
gadis itu berada di serambi kadipaten Pekalongan. Terhadap Sangaji, mereka tak
mempunyai perkara yang harus diselesaikan. Lainlah halnya dengan Wirapati,
Titisari, Sanjaya dan Sangaji sendiri.
Mereka
mengetahui belaka, apa yang terjadi dan apa yang harus diselesaikan. Dengan
demikian, mereka yang terbersih dari sekalian anasir itu, hanyalah Bagus
Kempong sebagai seorang pendekar murid Kyai Kasan Kesambi yang ketiga. Dia
berada di luar garis dengan kepala berteka-teki. Maklumlah, dengan Wirapati
baru saja dia bertemu. Waktu itu, dia lagi meronda mengelilingi wilayahnya.
Mendadak saja, ia melihat seseorang yang lagi bertempur menghadapi kerubutan.
Sebagai seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang terkenal dan mengutamakan jiwa
ksatria, heranlah dia menyaksikan suatu pertempuran berat sebelah. Itulah suatu
perkelahian yang bertentangan dengan tata-tertib seorang ksatria. Segera ia
menghampiri. Alangkah kaget dan terharunya, karena tiba-tiba kenallah dia siapa
yang lagi bertempur menghadapi kerubutan. Dialah adik-seperguruan yang hilang
tiada kabar-beritanya selama 12 tahun. Tanpa ragu-ragu lagi, dia terus terjun
ke gelanggang dan merabu musuh adik seperguruannya kalang kabut. Wirapati
segera mengenal ka-kak-seperguruannya. Hatinya terharu bukan kepalang. Ingin
dia cepat-cepat menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi lawannya bukanlah lawan
sembarangan. Kecuali berjumlah lebih banyak, sesungguhnya termasuk golongan
pendekar-pendekar sakti pilihan. Itulah sebabnya, antara mereka berdua belum
sempat berbicara seleluasa-lelusanya. Dan belum lagi mereka bisa menyelesaikan
pertempuran, datanglah lagi suatu desakan baru. Sanjaya dan Abdulrasim datang
mengkerubut. Kemudian datang pulalah Sangaji dan Titisari yang membuat mereka
bisa bernapas selintasan.
"Anakku
Titisari," kata Wirapati tiba-tiba. "Se-sungguhnya persoalan antara Sangaji
dan Sanjaya adalah persoalanku dan gurunya, dan antara aku dan gurunya, sudah
memperoleh suatu penyelesaian. Hal ini tak perlu dikutik- kutik lagi. Karena
itu selama aku ada, Sangaji dan Sanjaya tak kuperkenankan mengadu kepandaian.
Kecuali apabila berdasarkan alasan lain."
"Ah,
ya" Titisari meraba keningnya dan se-olah-olah tersadar. "Bukankah Ki
Hajar Ka-rangpandan menyatakan, bahwa dia menyerah kalah? Dengan begitu,
anak-angkat pangeran itu dinyatakan kalah pula. Jika demikian sama sekali tidak
pada tempatnya dia menyebut Sangaji dengan istilah tolol. Bahkan dialah
sebenarnya yang tolol sebagai jago godogan. Bukankah begitu?"
Terang
sekali, Titisari menjatuhkan pamor Sanjaya di hadapan orang banyak. Karuan
saja, Sanjaya yang biasa mengagung-agungkan diri menjadi mendongkol. Dengan
mata berkilatan dia berkata, "Nona... aku bukan guruku. Guruku bukan aku
pula."
"Bagus!"
potong Titisari. Kemudian menoleh kepada Wirapati seraya berkata membakar hati.
"Dialah yang menantang. Apakah kita akan membiarkan tantangan itu tak
terjawab."
Wirapati
kenal akan kenakalan dan keliaran Titisari sewaktu berada di tengah lapangan
hijau di Pekalongan. Ia tahu pula, bahwa otaknya cerdas luar biasa. Tetapi
sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, tak gampang-gampang kena
terbakar hatinya. Kehormatan dirinya, melarang muridnya bertempur melawan
seseorang murid tanpa kehadiran gurunya. Maka dengan tenang dia berkata,
"Sudah kukatakan, selama aku berada di sini, tidak kuperkenankan mereka
mengadu kepandaian. Aku khawatir akan ditertawakan para saktiawan seluruh dunia
ini."
"Baik.
Paman bersitegang mempertahankan kehormatan diri. Tapi mengapa, Paman sampai
terlibat
dalam pertempuran melawan mereka? Paman ternyata dikerubut mereka yang tak tahu
malu. Apakah menghadapi bangsa cecurut demikian, masih perlu Paman menginjak
sendi-sendi kehormatan diri? Bih!"
Diejek
sebagai bangsa cecurut, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan Cocak Hijau yang beradat
berangasan, tak dapat lagi menyabarkan diri. Serentak mereka menyerang
berbareng. Wut! Tapi benar-benar aneh. Dengan sedikit menggeserkan kaki,
Titisari luput dari hantaman mereka bertiga. Keruan saja muka mereka berubah
hebat.
"Nah,
tu lihat! Bukankah mereka benar-benar bangsa cecurut?" ejek Titisari.
Wirapati
dan Bagus Kempong terkesiap hatinya, tatkala gadis itu diserang tiga pendekar
dengan berbareng. Mau mereka bergerak mengulur tangan. Tapi ternyata Titisari
jauh lebih gesit daripada mereka. Maka diam-diam mereka kagum kepada
kegesitannya.
"Jahanam
anak haram!" maki Yuyu Rumpung. "Jangan terburu-buru berbesar hati,
engkau bisa mengelakkan serangan kami. Hayo maju! Akulah yang mewakili nDoromas
Sanjaya."
"Ih,
bandot tua ini benar-benar tak tahu malu," balas Titisari. "Aji!
Kauwakili aku menghajar botaknya yang mengkilat itu!"
Yuyu
Rumpung benar-benar kuwalahan. Segera ia menarik kedua tangannya bersiap
menyerang. Waktu itu Sangaji telah memasuki gelanggang.
"Aji,
mundur!" seru Wirapati yang meng-khawatirkan keselamatan muridnya.
"Bukankah sudah kupesankan padamu bahwa engkau harus menghindari
dia?"
Tetapi
Titisari menyahut, "Paman! Terhadap si botak bandotan ini, tak perlu Paman
membesarkan hatinya. Dia pantas dihajar! Dan biarlah Aji menghajar mulutnya
yang kotor! Bukankah Paman bertempur melawan mereka untuk mempertahankan pusaka
warisan Aji? Ternyata anak-angkat pangeran itu merasa diri berhak mewarisi
pusaka ayahnya. Idih! Terhadap ayah kandungnya tidak mau mengakui, tetapi
begitu mendengar pusakanya, mulutnya lantas ngiler. Benar-benar berhati
jahanam!"
Memang
Titisari benci benar terhadap Yuyu Rumpung. Pertama-tama, ia pernah bertempur
dan pernah melihat pemuda pujaannya dikalahkan sewaktu baru memiliki ilmu sakti
Kumayan Jati tiga jurus. Dalam hatinya kini ingin menguji ilmu sakti Kumayan
Jati yang sudah dimiliki Sangaji dengan lengkap. Ia percaya, bahwa Sangaji akan
dapat menaklukkan pendekar itu sampai tujuh turunan. Kalau harapannya ini
terkabulkan, bukankah Wirapati akan kagum pula kepadanya?
Tetapi
ucapan Titisari tanpa disadarinya sendiri, telah menusuk hati dua orang. Selain
Yuyu Rumpung, Sanjaya pula. Pemuda itu sekaligus menggerung karena geramnya.
Dengan meluapnya amarahnya, ia terus menerjang dengan satu jurus serangan yang
sangat berbahaya. Tangannya mencengkeram dan mengancam kepala. Itulah jurus
ilmu sesat ajaran iblis Pringgasakti.
Sangaji
terkejut melihat serangan itu. Teringatlah dia bahwa dengan jurus itu pula
pergelangan tangan Wayan Suage kena dipatahkan. Dan begitu teringat akan nasib
Wayan Suage, sekaligus tergetarlah hatinya. Suatu endapan api amarah bergolak
dalam dadanya. Rasa muak dan jijik terhadap Sanjaya sekaligus meledak dahsyat.
Dan tanpa dipikir lagi, ia menyambut serangan Sanjaya dengan satu jurus ilmu
sakti Kumayan Jati yang maha kuat. Bum! Seperti layang-layang terputus, Sanjaya
terpelanting sepuluh langkah dan jatuh terjungkal di atas tanah dengan
memuntahkan darah.
Semua
orang terkejut menyaksikan peristiwa yang terjadi dengan secepat itu. Titisari
yang tahu akan kehebatan ilmu sakti Kumayan Jati, terkejut juga. Sama sekali
tak diduganya, bahwa Sangaji dapat memukul roboh Sanjaya hanya dalam satu
gebrakan saja.
"Monyet!
Binatang!" maki Yuyu Rumpung kalang-kabut. Dia terus menyerang dengan
kedua tangannya berbareng. Tenaganya tak terperikan besarnya.
Waktu
itu Sangaji sedang dalam termangu-mangu. Seperti Titisari, sama sekali tak
diduganya bahwa ilmu saktinya sudah maju demikian pesat, sehingga dapat
menumbangkan Sanjaya dalam satu gebrak, la heran berbareng terharu. Sebab
betapapun juga Sanjaya adalah teman sepermainan sewaktu kanak-kanak. Meskipun
kesan hati kanak-kanaknya sudah terlalu samar-samar, tetapi terhadap Wayan
Suage ia mempunyai kesan mendalam. Mendadak saja ia mendengar kesiuran angin.
"Aji!
Awas!" teriak Titisari terperanjat.
Syukur,
Sangaji, sudah memiliki ilmu petak pendekar sakti Gagak Seta. Dalam keadaan
terjepit, kakinya terus menjejak tanah. Dengan sedikit menggeserkan kaki ia
terhindar dari marabahaya. Kemudian ia melontarkanserangan balasan dengan
menggunakan jurus Jaga Saradenta dan Wirapati berbareng.
Yuyu
Rumpung telah mengenal ilmu sakti pemuda itu, tatkala bertempur di luar Dusun
Karangtinalang. Teringat akan kedahsyatan ilmu itu, serta pula menyaksikan
bagaimana Sanjaya roboh dalam satu gebrakan saja terus ia menjatuhkan diri ke
tanah dengan bergulungan. Hasilnya ia benar-benar tertipu. Ternyata pukulan
Sangaji adalah pukulan biasa. Meskipun demikian, karena Sangaji kini sudah
memiliki ilmu tata-pernapasan Gagak Seta, tenaga pukulannya berderu juga.
Seumpama pukulan mendarat di dagunya belum tentu dia bisa mempertahankan diri.
"Anakku
Sangaji!" seru Wirapati. "Janganlah tergesa-gesa hendak merebut
kemenangan dengan cepat."
Mendengar
suara gurunya, hati Sangaji ter-bombong ). Tekadnya menjadi bulat, untuk
memperlihatkan kemampuannya di hadapan gurunya. Maka ia menghampiri Yuyu
Rumpung yang sudah bersiaga membalas serangan.
Sangaji
telah memperoleh pengalaman bertempur melawan sang Dewaresi. Meskipun gaya ilmu
serangan Yuyu Rumpung berbeda dengan sang Dewaresi, tetapi titik tolaknya ada
persamaannya. Yakni, mengutamakan kelincahan dan kedahsyatan tenaga. Biarlah
aku berhemat melepaskan tinju Kumayan Jati, pikirnya. Dan berbekal pikiran
demikian, ia melawan Yuyu Rumpung dengan ilmu Jaga Saradenta dan Wirapati yang
diaduknya se-rapih mungkin. Itulah sebabnya, maka per-tempuran nampak
berimbang.
Diam-diam
Wirapati bergembira dalam hati, menyaksikan kemajuan muridnya. Ternyata tenaga
Sangaji jauh berbeda dengan kemampuannya dua bulan yang lalu. Kini, setiap
pukulannya mempunyai pengaruh yang cukup menggetarkan. Kesiur angin
berderu-deru menyapu samping-menyamping. Tetapi lawan yang dihadapinya bukanlah
lawan yang empuk. Bagaimanapun juga, Yuyu Rumpung adalah seorang pendekar
sakti—mahaguru dan penasehat sang Dewaresi. Dengan Wirapati saja, belum tentu
dapat dikalahkan.
"Kau
mencari mampus! Jangan salahkan aku!" ancam Yuyu Rumpung dengan gemas.
Terus saja ia merangsak maju.
"Aji!
Jangan terlalu banyak memberi hati!" seru Titisari nyaring.
Mendengar
seruan kekasihnya dan melihat serangan Yuyu Rumpung kian berbahaya, Sangaji
terus merubah tata-berkelahinya. Perlahan-lahan ia meninggalkan jurus-jurus
ilmu Jaga Saradenta yang mengutamakan tenaga jasmani. Kemudian bergerak lincah,
memasuki ilmu Wirapati.
Bagus!
pikir Yuyu Rumpung gembira. Tahulah aku sekarang. Anak itu hanya memiliki
tenaga dahsyat. Ilmunya tiada yang istimewa. Biarlah kini kukurungnya.
Memperoleh pikiran demikian, ia meloncat ke samping dan melibat rapat.
Titisari
jadi bingung menyaksikan Sangaji terkurung rapat, la berharap-harap, agar
ke-kasihnya mengeluarkan ilmu saktinya Kuma-yan Jati. Namun sekian lama, masih
saja kekasihnya berputar-putar dengan tangkisan dan pukulan jasmaniah belaka.
Gelisah ia melemparkan
pandang
kepada Wirapati yang nampak pula mengerutkan dahi. Rupanya Wirapati mencemaskan
muridnya pula. Sebagai seorang guru inginlah dia menolong muridnya. Tetapi jiwa
ksatria tidak memperkenankan. Mendadak terdengar Sangaji berkata nyaring.
"Guru!
Titisari! Ijinkanlah aku menghajar orang ini!"
Setelah
berkata demikian, tangannya mulai bergerak aneh. Kemudian mengibas udara dan
terus membalas merangsak. Yuyu Rumpung melihat gerakan aneh itu. Sebagai
seorang pendekar yang sudah biasa mengagungkan kepandaian sendiri, tak mau ia
mendesak. Ia tetap bersitegang dan inilah saat yang dike-hendaki ilmu Kumayan
Jati.
Terus
saja, Sangaji meliuk. Kaki kanannya menggeser cepat. Melihat gerakan ini, Yuyu
Rumpung terperanjat. Sekaligus teringatlah dia kepada daya gempur ilmu anak
muda itu. Cepat ia menarik kedua tangannya dan disilangkan untuk melindungi
dada. Kemudian sikunya ditekuknya pula, untuk membarengi menyodok. Inilah cara
pertahanan berbareng melontarkan serangan. Biasanya, dengan gerakan ini dia
bisa menumbangkan lawan dengan sekali sodokan. Tetapi kali ini, dia bukan menghadapi
lawan yang berilmu lumrah. Inilah kesalahan yang tak terampunkan. Maka
tiba-tiba saja, tubuhnya bergetar. Sangaji telah melepaskan satu jurus ilmu
sakti Kumayan Jati yang keras. Belum lagi Yuyu Rumpung mempersiagakan serangan
balasan, sekali lagi Sangaji melontarkan pukulan yang aneh. Pundaknya kena
terhajar. Rongga dadanya lantas saja menjadi sesak dan tubuhnya tiba-tiba terus
terlempar sejauh lima belas langkah.
Semua
orang menjadi kaget kembali, hingga mereka memperdengarkan rasa herannya.
Justru pada saat itu, terjadilah suatu keanehan lain. Mendadak nampaklah
sesosok bayangan berkelebat dengan menerkam kain leher Yuyu Rumpung. Bayangan
itu kemudian berdiri dengan tegak. Ternyata dia adalah seorang laki-laki
berkulit hitam mengkilat, bibirnya tebal berkepala gede. Roman wajahnya
terkesan dingin beku. Dia tersenyum pahit dengan pandang mata berkilat-kilat.
Semua yang melihat mereka menjadi terperanjat setengah mati, karena orang itu
adalah iblis Pringgasakti.
"Guru!"
seru Sanjaya bergembira dan terus saja menyongsong kedatangan Pringgasakti
dengan terhuyung-huyung. Ia hendak datang bersembah, mendadak ia mundur
selangkah, karena di belakang gurunya nampak sesosok tubuh lain yang mengenakan
jubah panjang warna abu-abu. Perawakan sesosok tubuh itu, tinggi semampai. Dan
wajahnya benar-benar mengerikan dan menggigilkan hati. Barang-siapa sekali
melihat wajahnya, takkan sudi melihat wajahnya untuk yang kedua kalinya.
Waktu
itu, Wirapati dan Bagus Kempong sedang saling memandang. Mereka heran,
menyaksikan Sangaji dapat menumbangkan lawan dengan sekali pukul. Tadi mereka
berdua sudah mengadu kekuatan dengan Yuyu Rumpung.
Orang
itu termasuk seorang pendekar yang tangguh. Bagaimana mungkin, bisa dilontarkan
lima belas langkah oleh seorang anak kemarin sore seperti layang-layang putus?
Sedang mereka terheran-heran dan sibuk menduga-duga, muncullah iblis
Pringgasakti dan sesosok tubuh berjubah abu-abu yang berwajah menyeramkan.
Wirapati terperanjat melihat munculnya Pringgasakti, sampai hatinya tergetar.
Sedangkan Bagus Kempong yang belum mengenal Pringgasakti, tersentak melihat
sesosok tubuh yang berwajah menyeramkan.
Wirapati
terus maju menghadapi Pringgasakti. Dengan sedikit membungkuk dia berkata,
"Aku atas nama rekanku Jaga Saradenta menyambut kedatanganmu, dua bulan
yang lalu kita pernah bertemu. Mestinya engkau masih mengenal aku."
"Hm."
Dengus Pringgasakti, "Apakah engkau bernama Wirapati murid Kyai Kasan
Kesambi?"
"Benar."
"Kauhilang
atas nama si dogol Jaga Saradenta menyambut kedatanganku? Bagus! Memang aku
lagi mencari padanya. Bukankah kematian adikku ada hubungannya dengan
dia?" Bagus
Kempong
yang mendengarkan percakapan antara adik-seperguruannya dan Pringgasakti,
tiba-tiba terkejut. Sebagai salah seorang murid Kyai Kesambi, dapatlah dia dengan
cepat menebak bahwa orang itu pasti ada hubungan tertentu dengan gurunya. Dia
bergerak maju pula, siap menghadapi kemungkinan.
"Adik
Wirapati! Apakah dia pernah mengenal guru kita?" tanyanya nyaring.
"Menurut
kabar, dia pernah bertempur selama tujuh hari tujuh malam mengadu kepandaian
pada zaman Perang Giyanti."
"Hm-hm."
Pringgasakti menggerung. Kemudian beralih mengamat-amati Sanjaya, yang berdiri
tegak dengan wajah pucat lesi. Ia terperanjat, sewaktu melihat mulut Sanjaya
berdarah pula. Tanyanya menegas, "Apakah nDoromas bertempur dengan
mereka?"
Sanjaya
mengangguk. Dengan setengah berbisik dia berkata, "Bukankah engkau sudah
menerima wartaku?"
Pringgasakti
memperdengarkan tertawanya. Dengan menyipitkan matanya berkatalah dia,
"Apakah dia gadismu?"
Mendengar
ujar Pringgasakti, Sanjaya nampak gugup. Ia mendehem tertahan seolah-olah minta
dengan sangat kepada gurunya, agar merahasiakan tentang gadis itu. Tetapi
Titisari yang cerdas, dengan cepat dapat membaca apa yang masih berkesan
samar-samar.
"Eh,
pantas! Malam itu kakakku Nuraini tiada datang lagi ke pondok. Siapa menduga,
telah mengabdikan diri kepada anak pangeran yang ganteng ini untuk menyampaikan
berita. Aji! Apakah dugaanku ini salah?" katanya nyaring.
Sangaji
adalah seorang pemuda yang berhati sederhana. Ia tak pandai menangkap
kalimat-kalimat sindiran atau ejekan tajam. Lagi pula, pada saat itu hatinya
sedang tegang, melihat kedatangan Pringgasakti dan sosok tubuh yang berjubah
abu-abu yang tetap berdiam diri seperti tugu tak bernyawa. Itulah sebabnya,
tatkala mendengar ucapan Titisari yang ditujukan kepadanya, ia menjadi
terkejut. Gugup ia hendak menjawab, tetapi mendadak terdengarlah Pringgasakti
tertawa bergelora.
"Eh,
adik kecilku. Rupanya kita selalu berjodoh untuk selalu bertemu," katanya.
"Abu!
Benar-benar engkau tak memandang mata terhadap ayahku," damprat Titisari
geram.
"Kauhilang
apa?" sahut Pringgasakti cepat. Hatinya tergetar juga, meskipun gadis itu
menggunakan nama ayahnya untuk menciutkan keberaniannya. Yuyu Rumpung yang
sejak tadi diterkamnya sampai tak berkutik, dilemparkan seperti sekantung goni.
Ia kena pukul ilmu sakti Kumayan Jati yang membuatnya terlempar sampai lima
belas langkah. Belum lagi bisa tegak di atas tanah. Tahu-tahu kain lehernya
kena terkam Pringgasakti dan ia terus dijinjing seperti sekantung goni tak
berharga. Dia terkatung-katung tanpa dapat berkutik, sementara Pringgasakti
berbicara. Dan baru terlempar di atas tanah, sewaktu hati Pringgasakti tergetar
oleh ucapan Titisari. Seluruh tubuhnya menjadi luar biasa dan dengan
tertatih-tatih ia mencoba bangun, Kemudian duduk di pinggir sana bagai seorang
pengemis bangkrut.
"Kauhilang
apa?" terdengar Pringgasakti mendesak.
"Di
depanku engkau masih saja berani mengangkat-angkat kematian adikmu. Mengapa tak
teringat akan budi ayahku?"
"Itu
adalah perkaraku," bentak Pringgasakti. "Karena mengingat ayahmu,
minggirlah kau."
"Hm,
enak saja bicara. Tahukah kamu, bahwa Paman Wirapati dan Paman Jaga Saradenta
adalah guru sahabatku? Jika kamu berani menghinanya, samalah halnya engkau
menghinaku dan menghina ayahku," ujar Titisari.
Mendengar
ujar Titisari, Pringgasakti nampak bergelisah. Bagaimanapun juga, ia
benar-benar takut kepada ayah Titisari. Tetapi apabila bersikap mengalah
terhadap seorang gadis kecil di depan para pendekar, bagaimana mungkin?
Tiba-tiba terdengarlah Wirapati berkata
menungkas,
"Anakku Titisari, biarlah hal ini kita selesaikan sendiri. Antara aku dan
dia, tiada mempunyai suatu perkara. Tetapi, apabila dia menghina rekanku Jaga
Saradenta, bagaimana aku dapat bertopang dagu? Dahulu, aku pernah menerima
janji Ki Tunjungbiru agar melupakan peristiwa balas dendam itu. Dan aku segera
menerima serta menyetujui, karena aku tak mempunyai sesuatu perkara yang harus
kuselesaikan. Jaga Saradenta pun menyetujui juga, meskipun wataknya yang
berangasan, masih saja mengantongi dendam. Kini kudengar, iblis itu
mengungkit-ungkit kematian adiknya. Inilah suatu soal, di mana aku tak dapat
berdiri di luar garis. Karena aku hadir, pada malam kematian saudaranya. Nah,
biarlah dia mencari perhitungan kepadaku, apabila dia sengaja membuat
gara-gara."
"Hohaaa...
bagus! Bagus! Tuhan Maha
Pemurah.
Akhirnya dugaanku menemui kebenaran." Pringgasakti menggeram setinggi
langit. "Jadi benar-benarkah adikku mati, perbuatan kalian?"
Mendengar
ucapan Pringgasakti, semua yang hadir kecuali Bagus Kempong kaget bercampur
heran. Mereka semua pernah menyaksikan sepak-terjang iblis itu yang sakti luar
biasa. Mereka sibuk menduga-duga, pastilah saudaranya lebih hebat daripadanya.
Bagaimana dapat dibinasakan oleh Wirapati.
"Pringgasakti!
Meskipun saudaramu terbinasa, tapi dia mati secara ksatria. Beberapa lawannya,
telah dapat ditewaskan pula. Itulah kejadian lima tahun yang lalu," kata
Wirapati dengan tenang. "Dunia ini sesungguhnya luas. Tak dapatlah engkau
sekali menjejak sudah menemukan dasarnya. Tetapi jika engkau penasaran
kepadaku, nah majulah!"
Pringgasakti
tertawa dingin. Katanya angkuh, "Kau mempunyai teman, suruhlah
meng-kerubut aku."
Belum
lagi Wirapati menyahut, Bagus Kempong telah berada di sampingnya. Kakak
seperguruannya, bagaimana bisa tinggal diam melihat dia hendak bertempur
menentukan mati-hidup. Justru pada saat itu, majulah Sangaji. Pemuda itu
berkata dengan tekad bulat. "Guru! Biarlah aku maju terlebih dahulu."
Pringgasakti
tertawa mendongak. Sambil meludah ke tanah, ia berkata, "Kau bocah ingusan
hendak maju pula? Bagaimana aku dapat berlawanan dengan anak kemarin
sore?"
Sangaji
adalah seorang pemuda jujur. Apabila sudah diputuskan, tak gampang-gampang
merubah niatnya. Maka untuk memperkokoh kedudukannya, dia menjawab,
"Adikmu itu, sebenarnya akulah yang membunuh. Kematiannya tiada
sangkut-pautnya dengan guruku."
Mendengar
ujar Sangaji, Pringgasakti terperanjat seperti tersambar geledek. Tiba-tiba
saja, dia menggerung tinggi dan meledak.
"Apa
kauhilang? Apa kauhilang? Engkaulah yang membunuh adikku? Oah... oah... oah...
bangsat kecil! Kukirimkan kepalamu ke neraka biar digerogoti anjing-anjing
iblis!"
Sebat
luar biasa, ia terus menerkam. Di luar dugaannya Sangaji dapat mengelak manis
sekali dengan ilmu petak Gaga Seta. Katanya sambil meloncat, "Tahan,
biarlah kuberi keterangan terlebih dahulu. Lima tahun yang lalu, aku masih
kanak-kanak. Tetapi hal itu bukanlah berarti, bahwa aku akan mengingkari tanggung-jawab.
Adikmu menerkam aku dengan tiba-tiba. Karena gugup aku menarik pelatuk pistol.
Secara kebetulan menembus pusat. Adikmu terus terjengkang mati. Sekarang,
baiklah kau memperhitungkan hutang-piutang itu kepadaku. Aku seorang laki-laki
takkan melarikan diri mengungsi sampai ke ujung langit. Sebaliknya, engkau
berjanji tak boleh lagi menuntut kesalahan tangan ini terhadap kedua guruku.
Kausanggup?"
"Benarkah
kau laki-laki sejati, sehingga takkan kabur?"
"Pasti
tidak!"
"Baiklah.
Dengan ini aku menghapus semua tuduhanku terhadap kedua gurumu. Tapi, kau
sekarang harus kubawa untuk kukorbankan kepada adikku."
"Abu,"
tiba-tiba Titisari menungkas. "Dia pun seorang laki-laki sejati. Bagaimana
bisa kaubawa dengan begitu saja?"
"Adik
kecil! Kauhilang apa?" Pringgasakti menegas.
"Dia
adalah ahli waris satu-satunya dari pen-dekar Jaga Saradenta dan Wirapati murid
Kyai Kasan Kesambi yang termasyhur," kata Titsari. "Sekarang ini,
murid Kyai Kasan Kesambi hampir mewarisi kepandaian gurunya. Lihat, di samping
pendekar Wirapati berdirilah seorang pendekar gagah. Dialah
kakak-seperguruan-nya yang bernama Bagus Kempong. Mereka berdua jika mau, akan
dapat mengambil nyawamu dengan mudah. Tetapi ternyata mereka tak bergerak.
Suatu tanda, bahwa mereka mengampuni nyawamu.... Sebaliknya engkau tak
mengenal
tingginya udara. Tanpa memedulikan mereka, kau lantas saja hendak menggondol
muridnya. Bagaimana bisa begitu?"
"Cuh,
bah!" Pringgasakti meludah di tanah. "Kauhilang, mereka mengampuni
aku? Eh, anak murid Kyai Kasan Kesambi! Gurumu pernah bertempur melawan aku
selama tujuh hari tujuh malam, sewaktu mudanya. Apa kalian benar-benar sudah
mewarisi ilmu gurumu? Mari-mari kita mencoba-coba!"
"Apa
perlu mereka melayani kamu," potong Titisari. "Melawan muridnya
seorang diri, belum tentu engkau dapat memenangkan. Kaupercaya, tidak?"
Direndahkan
demikian rupa oleh Titisari, sudah barang tentu meledaklah amarah Pringgasakti.
Dengan menggarit-garit tanah seperti laku seekor kuda, mulutnya berkaokan
setinggi udara. Kemudian membentak, "Jikalau dalam tiga jurus tak dapat
aku merubuh-kannya sampai mampus, aku membenturkan kepalaku di sini biar
hancur."
Meskipun
hanya sekilas pandang, Pringgasakti pernah melihat Sangaji bertempur melawan
musuh-musuhnya, tatkala berada di lapangan hijau di Pekalongan. Diapun pernah
mendengar kabarnya. Karena itu, ia tak memandang mata terhadap pemuda itu.
Hanya saja, sama sekali tak diketahuinya, bahwa pemuda itu sudah mewarisi
sebagian besar ilmu sakti Kumayan Jati yang tiada duanya dalam dunia ini.
"Bagus!
Semua orang di sini menjadi saksinya. Tapi tiga jurus sebenarnya terlalu
sedikit. Aku beri kesempatan sampai sepuluh jurus," kata Titisari.
"Tidak,"
sahut Sangaji. "Akan kulawan dia sampai delapan belas jurus."
"Kauhilang
apa? Delapan belas jurus?" Pringgasakti heran, kemudian tertawa panjang
merendahkan. Katanya lagi, "Baiklah, kau cari mampus."
"E-hm,
kau jangan tergesa-gesa berbesar kepala," tegur Titisari. "Lebih
baik, semua kawan-kawanmu, suruhlah menjadi saksinya. Juga pengawalmu itu,
suruhlah menghitung tiap jurusnya."
"Pengawal?"
Pringgasakti heran. "Siapakah yang mengawal aku? Aku datang seorang diri.
Selama hidupku, tak pernah aku memelihara pengawal."
"Habis,
siapakah yang berdiri di belakangmu itu? Dia mengenakan jubah abu-abu dan
bertopeng iblis."
Cepat
luar biasa, Pringgasakti memutar tubuh sambil mencengkeram. Orang yang
mengenakan jubah abu-abu itu, tetap berdiri bagaikan tugu. Tetapi benar-benar
aneh. Entah bagaimana caranya mengelak, tahu-tahu dia lolos dari cengkeraman
Pringgasakti. Wajahnya tak berubah. Tetap kejang dan mengerikan penglihatan.
Pringgasakti
terkejut. Dengan muka berubah ia minta penjelasan. "Kausiapa? Apa yang
kaukehendaki, sehingga selalu mengikuti aku?"
Suara
iblis itu terdengar agak bergetar. Terang sekali, bahwa jantungnya lagi
berdegup keras.
Tetapi
orang berjubah abu-abu itu seperti tak menghiraukan. Dia tetap diam tak
bergerak.
Pringgasakti kemudian menubruk dengan sebat. Tapi untuk kedua kalinya, dia gagal. Ia
mengulangi
lagi dan kembali gagal pula. Nampaknya, orang itu sama sekali tak bergerak.
Hanya saja, anehnya tak dapat kena serangan. Sudah barang tentu semua orang
menjadi kaget heran. Tanpa merasa, mereka terus mengikuti gerak-gerik orang
berjubah abu-abu itu, yang bergerak mundur melintasi lapangan. Akhirnya, tegak
kembali di antara deretan barisan pohon yang merupakan sepetak hutan bersemak
belukar.
"Engkaukah
yang meniup seruling menolong aku?" tanya Pringgasakti menegas. Dan semua
yang mendengar pertanyaan Pringgasakti terheran-heran belaka.
"Orang
itu menolong Pringgasakti?" pikir mereka.
Belum
lagi habis keheranan mereka, menjuruslah suatu kejadian yang tiada nalar.
Mendadak saja orang berjubah abu-abu itu bergerak, tahu-tahu melesat lenyap
menerobos semak belukar. Dengan menggerung Pringgasakti memburunya. Tetapi
meskipun Pringgasakti sebat luar biasa, ternyata yang diubernya tak dapat
dikejarnya. Orang berjubah abu-abu itu benar-benar seperti hantu melenyapkan
diri di siang hari bolong.
"Abu!"
teriak Titisari, "Orang itu lenyap tak keruan."
Dengan
berjumpalitan Pringgasakti mendarat di tempatnya semula di bawah sebatang pohon
agak rindang. Ia berdiri terheran-heran sambil mulut berkomat-kamit,
"Benar-benar hebat. Aku tak mampu mengejarnya."
"Ya,
kau tak mampu. Masakan engkau tak dapat mengejarnya?" Titisari membakar
hatinya. "Kejarlah dia! Dan jangan kau main raksasa ganas di sini."
Pringgasakti
terhenyak sejenak. Wajahnya berubah-ubah. Nampaknya dalam hatinya sedang
berkecamuk suatu perjuangan yang hanya diketahuinya sendiri. Mendadak saja, dia
mendongak sambil menggeram.
"Huahaaa...
bocah! Siapa namamu yang membunuh adikku?"
Dengan
tak mengenal takut. Sangaji menjawab, "Aku bernama Sangaji."
"Bagus!
Bersiaplah menerima mautmu," ancam Pringgasakti. Tubuhnya nampak
menggigil, sedang kedua belah tangannya tiba-tiba membersitkan segumpal asap
tipis. Itulah suatu ilmu sesat yang terkenal dengan nama ilmu hitam janda Calon
Arang yang sudah lama lenyap dari persada bumi. Barangsiapa yang kena
tersentuh, akan terbakar kering seperti ayam terpanggang. Tetapi ternyata dia
tak bergerak. Hatinya penuh kebimbangan.
"Apakah
engkau sudah bersiaga?" gertaknya. Ucapannya berkesan lebih di alamatkan
kepada dirinya sendiri yang berada dalam kebimbangan. Terasalah di sini, bahwa
keagungan gurunya yang diancamkan Titisari kepadanya, nampak berpengaruh pula.
"Ya,
aku siap!" sahut Sangaji. Dan pemuda itu telah bersiaga menjaga diri
dengan ilmu sakti Kumayan Jati.
Mendengar
Sangaji sudah bersiaga, secepat kilat Pringgasakti menyerang dengan tiada
ragu-ragu lagi. Tangan kanannya berkelebat dan menyusullah tangan kirinya
dengan jari mencengkeram seketika itu juga, angin berke-siur dengan menebarkan
gulungan asap tipis.
Titisari
dan Wirapati terperanjat sampai memperdengarkan seruan cemasnya. Bagus Kempong
yang berpribadi setenang air telaga tercekat pula hatinya. Mukanya berubah
menjadi pucat.
Tetapi
di luar dugaan, Sangaji dapat mengelak dengan tepat sambil melontarkan tangan
kirinya. Itulah jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang kedua belas. Pinggasakti
kaget. Ia mendengar kesiur angin berderu. Cepat-cepat ia menghindar. Namun,
kasep juga. Memang ilmu sakti Kumajan Jati, adalah suatu ilmu yang tiada duanya
di dunia. Dahulu, sewaktu Pringgasakti bertempur melawan Kyai Kesambi, ilmu itu
belum terlahir. Karena itu, ilmu sakti Kumayan Jati masih asing bagi
Pringgasakti. Tiba-tiba saja pundaknya kena terhajar dan ia terpental tiga
langkah. Tetapi Pringgasakti bukanlah seorang pendekar lumrah. Ia terkenal
sakti luar biasa. Namanya menggetarkan dunia semenjak puluhan tahun yang lalu.
Meskipun pundaknya terhajar,
tubuhnya
kuat bagaikan sebatang pohon baja. Ia hanya tergoyang selin-tasan, mendadak
saja memental balik dengan menusukkan suatu serangan maut. Inilah suatu
kejadian yang tak terduga- duga.
Sangaji
terperanjat bukan kepalang. Cepat-cepat ia hendak menangkis dengan jurus ilmu
sakti Kumayan Jati keenam. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Ia kalah cepat.
Tiba-tiba saja lengan kirinya telah kena tercengkeram tangan Pringgaskti yang
berasap. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, sampai ia memekik karena kesakitan.
Ontunglah, dalam tubuhnya mengalirlah suatu getah sakti pohon Dewadaru yang
tanpa disadarinya sendiri, lantas saja bergolak melindungi kulit dagingnya.
Itulah sebabnya, ia masih bisa mempertahankan diri terhadap cengkeraman tangan
Pringgasakti yang berasap.
Pada
detik-detik berbahaya tangan kanannya terus saja bergerak. Jari telunjuk dan
tengah berputar menusuk dada. Itulah gerak tipu jurus ke-tujuh ilmu sakti
Kumayan Jati. Barangsiapa yang kena tertusuk kedua jari itu, pasti akan
tertembus, meskipun andaikata berperisai baja. Mestinya tangan kiri harus
membantu menyodok. Tetapi sayang, lengan kirinya sudah tercengkeram lawan. Maka
ia hanya bergerak secara untung-untungan belaka.
Sebaliknya,
Pringgasakti cukup awas dan berwaspada. Begitu ia mendengar kesiur angin yang
mendesis, tahulah dia bahwa lawan lagi menggunakan suatu jurus ilmu sakti yang
masih asing baginya. Meskipun demikian, tak mau dia melepaskan cengkeramannya.
Ia hanya mengelak dengan endapan tubuh. Tetapi, gerakan dua jari Sangaji,
sebenarnya adalah suatu gerakan tipu daya. Mendadak saja berubah menjadi tinju
dan menghantam pundaknya yang sebelah. Seperti diketahui, ilmu sakti Kumayan
Jati berpokok kepada tenaga dahsyat yang membutuhkan sasaran benturan tak
bergoyang. Gagak Seta dahulu pernah memberi contoh, bagaimana dengan mudah bisa
mematahkan sebatang pohon sepelukan orang. Meskipun Sangaji belum bisa mewarisi
daya tenaga ilmu sakti Kumayan Jati secara keseluruhannya, tetapi
setidak-tidaknya tujuh bagian sudah dimiliki. Maka begitu pundak Pringgasakti
kena hajar, menjeritlah iblis itu kesakitan. Tangan kirinya yang dibuatnya
mencengkeram lengan Sangaji tergetar dan menjadi lemas. Ia hendak bertahan
sekuat-kuatnya. Di luar dugaan, ilmu sakti Kumayan Jati mempunyai kodrat aneh
luar biasa. Makin lawan bertahan, makin menjadilah kesaktiannya. Pringgasakti
lantas saja kena terangkat naik dan dilemparkan jungkir-balik.
Sangaji
sendiri sewaktu menyerang lawan, ia membarengi dengan merenggutkan lengan
kirinya. Itulah sebabnya, begitu Pringgasakti kena dipentalkan, ia terjengkang
pula ke belakang oleh dorongan tenaganya sendiri. Dengan demikian, kedua orang
itu terhuyung-huyung berbareng dan bersama-sama pula menubruk pohon yang
berdiri di sekitarnya.
Pohon-pohon
yang tumbuh di sekitar mereka cukup besar dan kokoh. Meskipun demikian,
ternyata tak tahan menerima tubrukan mereka. Dahan-dahannya patah bergemeretak.
Dan mahkota daunnya runtuh berhamburan seperti sebuah tembok dinding tumbang
berpuing.
Semua
yang menyaksikan kejadian itu, kaget sambil berteriak kagum. Bagus Kempong
saling berpandangan dengan Wirapati. Mereka heran berbareng girang.
"Darimanakah
muridmu memperoleh ilmu itu?" Bagus Kempong minta ketegasan kepada
Wirapati dengan berbisik. Wirapati mengerling kepada Titisari. Pendekar itu
mengira, Titisari-lah yang mengajari ilmu itu.
Pringgasakti
yang sudah dapat berdiri tegak menyerang Sangaji kembali. Iblis itu kini, tak
berani lagi meremehkan ) lawannya. Dengan angin menderu-deru, ia menyambar
dengan ganas. Hatinya gregetan dan penuh penasaran. Namun Sangaji dapat menjaga
diri dengan rapat. Dengan demikian kedua orang itu bertempur dengan
mengeluarkan kepandaiannya masing-masing. Pringgasakti mengeluarkan ilmu ajaran
Adipati Surengpati yang diandalkan. Sedangkan Sangaji bertempur dengan
menggunakan ilmu Kumayan Jati, ajaran Gagak Seta. Secara tak resmi,
masing-masing kini mewakili keharuman nama gurunya masing-masing.
Sangaji
sudah berhasil mempertahankan diri selama delapan belas jurus. Bahkan kini, dia
bisa
mencampur
adukkan dengan sari-sari ilmu Jaga Saradenta, ilmu Wirapati dan ilmu petak
Gagak Seta. Lima puluh jurus sudah lewat dengan cepatnya. Meskipun demikian,
Pringgasakti belum berhasil mengalahkan. Bahkan untuk mendesak mundur saja, tak
mampu.
Titisari
menonton pertempuran itu sambil tersenyum-senyum bangga. Mukanya yang cantik
bertambah molek. Sedangkan Wirapati dan Bagus Kempong berdiri terheran-heran.
Di pihak lain Sanjaya nampak pucat lesi. Dalam hatinya timbullah suatu pengakuan,
bahwa dia kini bukan lagi tandingannya Sangaji yang disebutnya sebagai pemuda
tolol.
Manyarsewu
dan Cocak Hijau yang memandang rendah kepandaian Sangaji, jadi kecelik. Mereka
benar-benar kagum dan tergetarlah hatinya. Abdulrasim dan Sawungrana yang belum
kenal akan kepandaian Sangaji, merasa bersyukur bahwa mereka belum sampai
mengadu tenaga. Seumpama merekalah yang harus melawan pemuda itu, belum tentu
bisa bertahan dalam tiga jurus belaka. Sebaliknya, Yuyu Rumpung yang tadi kena
ditumbangkan seperti pohon keropos, jadi terhibur melihat Pringgasakti tak
dapat berbuat sesuatu ter-hadap Sangaji. Dengan demikian ia tak usah merasa
malu.
"Wirapati,"
bisik Bagus Kemong, "Muridmu bukan main hebatnya."
Wirapati
membalas pujian itu, dengan mengangguk... Seluruh perhatiannya terpusat pada
gerak-gerik mereka yang bertempur.
"Pringgasakti
benar-benar hebat," pikirnya.
"Pantaslah,
dia bisa bertahan menghadapi Guru selama 7 hari 7 malam... Tapi kini, Sangaji
ternyata bisa mempertahankan diri."
Tiba-tiba
terdengar Bagus Kempong berkata lagi, "Wirapati! Harus kuakui, bahwa aku
belum tentu dapat melawan musuh guru kita dalam sepuluh jurus saja. Hm, tapi
muridmu itu, bagaimana dia bisa begini hebat? Dengan cara bagaimanakah engkau
bisa menyulapnya menjadi Dewa Surapati?"
Titisari
yang mendengar bisik Bagus Kempong girang bukan main. Serentak ia berseru
nyaring kepada Pringgasakti.
"Abu!
Sekarang sudah enam puluh jurus lebih. Bukankah kamu harus menyerah
kalah?"
Mendengar
seman Titisari, Pringgasakti mendongkol hatinya. Pikirnya, celaka! Hampir
seabad usiaku dalam dunia ini. Dan semenjak kanak-kanak aku belajar sesuatu
ilmu. Tetapi aku tak sanggup mengalahkan bocah ini. Seumpama aku belum mengenal
ilmu Adipati Surengpati, sudah semenjak tadi aku ditumbangkan. Memperoleh
pikiran demikian tekadnya lantas menjadi bulat. Biar langit runtuh, tak mau dia
mundur selangkah pun. Maka seruan Titisari tak didengarkan lagi. Ia memusatkan
seluruh perhatiannya dan kemudian menyerang Sangaji lebih dahsyat lagi.
Sambaran tangannya membawa angin berderu-deru. Tangannya berserabutan. Kakinya
berputar-putar menendang ke seluruh penjuru. Bertempur dengan penuh nafsu
sebenarnya merupakan pantangan utama bagi setiap pendekar. Karena itu akan
kehilangan keseimbangan, keselarasan dan pengamatan. Sepak terjangnya lantas
jadi ngawur.
Di
pihak sana, Sangaji memperhebat kewas-padaannya. Pemuda itu kecuali memiliki
getah sakti Dewadaru, sudah menelan ilmu petak Gagak Seta. Gerak-geriknya
cekatan, lincah dan tangkas. Napasnya tetap teratur dan seolah-olah tiada
mengenal lelah.
Tak
lama kemudian, seratus jurus telah lewat. Setelah itu, Pringgasakti mulai bisa
berpikir, la menenangkan diri, dengan membesarkan hatinya sendiri.
Enam
puluh tahun yang lalu, pernah aku bertempur tiada henti selama 7 hari 7 malam.
Masakan aku kalah dengan bocah ingusan ini. Biarlah kuamat-amati dahulu corak
ilmunya. Apabila tenaganya mulai habis, aku akan menyerang dengan sekali
tumbang, katanya dalam hati.
Dengan
berbekal pikiran ini, ia mulai mem-perhatikan gerak-gerik ilmu Sangaji
yangberbahaya
ternyata
bermacam ragam. Pada saat-saat tertentu ia menjadi berbahaya, apabila pukulan
yang aneh mulai membidik sasaran. Dan tubuhnya senantiasa tergetar, jika kena
hantaman. Memperoleh penglihatan ini, cepat-cepat ia meloncat mundur. Ia telah
memperoleh warisan sepertiga bagian ilmu meninju udara dari Adipati Surengpati.
Maka ia segera merubah tata berkelahinya dari jarak jauh. Maksudnya hendak
membuat Sangaji letih.
Memang
ilmu sakti Kumayan Jati membutuhkan jarak pendek, apabila hendak memperlihatkan
kedahsyatannya. Tetapi sebenarnya apabila Sangaji sudah bisa mewarisi enam
jurus terakhir yang merupakan bombar-demen ), dia takkan menemui sesuatu
kesulitan. Sasaran jauh atau dekat, tidak merupakan soal lagi. Gagak Seta
pernah membuktikan bahwa dia bisa menumbangkan pohon dari jarak jauh. Hanya
sayang, jurus terakhir belum diturunkan kepada pemuda itu.
Sepertii diketahui,
jurus ilmu sakti
Kumayan Jati berjumlah
dua puluh empat.
Sangaji baru
mewarisi delapan belas jurus pukulan. Kecuali itu, latihannya belum masak pula.
Kedahsyatannya
bagaimanapun juga, masih belum dapat menempati taraf yang dikehendaki.
Itulah
sebabnya, lambat-laun tenaganya kian surut. Kelincahannya mulai nampak
berkurang.
Dalam
pada itu, matahari mulai condong ke barat. Pantulan sinar angkasa agak melemah.
Angin meniup berputaran dari utara ke barat. Mereka yang bertempur masih belum
mau mengalah. Tapi Sangaji benar-benar mulai nampak kendor. Sedangkan
Pringgasakti yang sudah berpengalaman, makin lama makin nampak menghimpun
tenaga terakhir.
Titisari
jadi gelisah, menyaksikan kekasihnya makin kehilangan tenaga. Segera ia berseru
nyaring lagi kepada Pringgasakti,
"Abu!
Dua ratus jurus sudah lewat! Apakah kau tetap membandel tak kenal malu?"
Pringgasakti
berlagak bisu-tuli. Ia menyerang Sangaji dengan jurus berantai yang tiada
memberi kesempatan lawan untuk bernapas. Melihat kebandelannya, Titisari
akhirnya jadi bingung juga. Mendadak timbullah pikirannya, la berteriak kepada
Sangaji, "Aji! Lihat!"
Kemudian
ia meloncat-loncat kecil sambil menghampiri pohon. Waktu itu Sangaji segera
mengerling kepadanya. Melihat Titisari berlompat-lompatan kecil, tahulah dia
menebak maksudnya. Maka segera ia merubah tata-berkelahinya. Kini dia
menitik-beratkan perkelahiannya kepada tata-ilmu petak Gagak Seta sambil
sekali-kali menghantam dengan ilmu sakti Kumayan Jati.
Pringgasakti
jadi penasaran. Ternyata Sangaji kini tak mau lagi berusaha mendekati padanya
dengan melontarkan serangan dari jauh. Dia bahkan makin menghindari dengan
gerak-gerik menjauh. Karena itu, terpaksalah Pringgasakti yang berganti
menghampiri. Tapi terus saja, Sangaji mundur berputaran. Yang menjengkelkan
ialah, apabila Pringgasakti menubruk maju, pemuda itu terus menangkis dengan salah
satu jurus ilmu saktinya.
Pringgasakti
jadi mendongkol. Hatinya dengki benar kepada Titisari. Dengan menggerung ia
menubruk lagi. Sangaji meloncat mundur dan berdiri tegak di bawah pohon. Begitu
tubrukan Pringgasakti tiba, ia berpura-pura menangkis. Mendadak saja, meloncat
gesit dan hilang di balik pohon. Keruan saja, Pringgasakti menubruk batang
pohon. Oleh hebatnya tenaga gempurannya, pohon itu sampai berderak patah. Dan
pada saat itu, Sangaji membarengi dengan pukulan sakti Kumayan Jati, Pringgasakti
kaget, namun sudah kasep. Pundaknya kena terhajar dan ia jatuh bergulungan di
atas tanah.
Memperoleh
pengalaman pahit itu, bukan main gusar hati iblis itu. Terus saja ia menghimpun
tenaganya. Rasa nyeri tak diindahkan lagi. Dengan sebat ia melompat bangun dan
terus memburu. Waktu itu Sangaji belum memperbaiki tempat kedudukannya. Ia
terperanjat, karena tak mengira musuh begitu gesit. Dengan untung-untungan ia
melompat ke samping. Tak urung lengan bajunya kena tercengkeram hingga sobek
memanjang. Syukur, kulitnya tak tergarit. Bagaimanapun juga, pemuda itu menjadi
gentar. Meskipun demikian, ia tetap melawan.
Dengan
meliukkan tubuh ia menyerang. Setelah itu, dia berkisar dan lari berloncatan
mendekati sebatang pohon lagi.
Tatkala
itu, Pringgasakti sudah berputar bagaikan seekor harimau ganas yang luput
menubruk mangsa. Ia menggerung tinggi dan siap menubruk kembali. Terdengar
Sangaji berseru, "Aki Pringgasakti! Kepandaianku tak dapat menandingi
kepandaianmu. Kasihanilah diriku."
Terang,
anak muda itu memberi hati kepada Pringgasakti. Kecuali itu, memberi pamor
pula. Sebenarnya, ia tak kalah menghadapi iblis itu. Dengan cara bertempur
begini ia akan memperoleh kemenangan. Tapi keluhuran budinya mengajak dirinya
lebih baik mengalah terhadap seseorang yang berusia tua.
Mendengar
kerendahan hati Sangaji, mau tak mau Pringgasakti menyahut, "Jikalau kita
mengadu kepandaian, mestinya aku harus menyatakan kalah setelah aku tak
berhasil menumbangkan engkau dalam tiga jurus. Tapi sekarang, soalnya adalah
lain. Aku bukan lagi mengadu ilmu kepandaian. Tetapi aku hendak menuntut balas.
Karena itu salah seorang harus mampus."
Sehabis
mengucapkan kalimat itu, ia terus menyerang saling menyusul. Tangannya kembali
berserabutan dengan disertai tendangan kaki yang mengeluarkan deru angin.
Tetapi Sangaji dapat juga mengelakkan dengan ilmu petaknya yang lincah. Ia
melompat ke sana ke mari dengan selalu mendekati pohon.
Makin
lama hati Pringgasakti makin gemas. Pada akhirnya, ia menyerang dengan dua
tangan berbareng. Hebat akibatnya. Waktu itu Sangaji berada di bawah sebatang
pohon sebesar sepelukan tangan anak berumur sepuluh tahun. Cepat ia bergeser
sambil melontarkan pukulan. Maka dengan suara bege-meretak, pohon itu tumbang
kena serangan Pringgasakti yang dahsyat.
Semua
yang berada di situ adalah pen-dekar-pendekar terkenal. Meskipun demikian,
mereka terkejut menyaksikan kedahsyatan serangan Pringgasakti. Berbareng mereka
melompat ke samping menghindari tumbangnya pohon itu. Celakalah nasib Yuyu
Rumpung. Pendekar yang masih merem-me-lek menahan rasa nyerinya itu, tak dapat
bergerak dengan cepat. Kakinya segera kena himpitan, sehingga ia menjerit-jerit
seperti seekor babi kena sembelih. Manyarsewu dan Cocak Hijau segera
menolongnya.
Sanjaya
yang berada tak jauh dari tempat itu, hendak mempergunakan kekacauan itu dengan
melarikan diri. Ia sudah memutar tubuh. Tahu-tahu punggungnya menjadi kaku.
Tubuhnya tak dapat digerakkan lagi, sehingga terpaksalah dia berdiri seperti
tugu. Siapa yang menghukum dia demikian, tak tahulah kita.
Pringgasakti
sendiri, kala itu lagi memperhatikan Sangaji semata. Kakek itu benar-benar
kagum dan dengan diam-diam memuji ilmu kepandaiannya. Pikirnya, hebat benar
anak ini. Dahulu seusia dia, aku belum memiliki ilmu yang dimilikinya sekarang.
Kelak, apabila dia sudah sebaya dengan aku ini, belum tentu dewa-dewa kayangan
dapat mengalahkan. Ia akan malang-melintang tanpa tandingan. Ah, lebih baik
kutumpasnya sekarang, agar kelak tidak menjadi penyakit berbahaya.
Ia
terus menyambar dengan menyerang lebih gesit lagi. Kali ini Sangaji benar-benar
terdesak. Tenaganya telah separuh terkuras. Meskipun masih gesit, namun
menghadapi serangan Pringgasakti yang melanda saling menyusul, ia merasa
kuwalahan juga. Kedua kaki iblis itu ternyata dapat bergerak saling berganti.
Kadang-kadang di tengah jalan berhenti dengan tiba-tiba untuk digantinya dengan
kibasan tangan dan cengkeraman jari.
"Awas!"
seru Wirapati. Guru itu, benar-benar mulai merasa gelisah. Ia menyayangkan,
apabila muridnya terpaksa memperoleh bahaya yang tak dapat dielakkan. Sedangkan
dia sendiri merasa tak mampu menolong.
Dalam
keadaan bahaya, Sangaji masih bisa bergerak dengan gesit. Dengan tangan kirinya
ia
membendung
serangan. Kemudian tangan kanannya menyedot dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati
ke tujuh belas. Hanya sayang, tenaganya sudah banyak berkurang. Begitu
tenaganya terbentur, ia terpental mundur tiga langkah. Pringgasakti pun tak
terkecuali. Ia ter-paksa pula mundur terhuyung tiga langkah. Tetapi ia
bergembira. Sebab, tahulah dia bahwa tenaga lawannya sudah berkurang.
Maka
dengan berani, ia terus mengembangkan kelima jarinya. Cepat ia memutar jari
kelingking dan menggurat telapak tangan Sangaji dengan kuku jari penunjuk.
Kemudian melompat mundur dengan tertawa berdongak.
Sangaji
terperanjat. Insaflah dia, bahwa baru saja ia mendapat bahaya. Gugup ia
memeriksa tangan. Darah hitam bersemu hijau merembes keluar dari telapak
tangan. Seluruh tubuhnya lantas menjadi panas. Itulah akibat luka guratan
Pringgasakti yang beracun. Seketika itu juga, ia hanya terkejut. Ia mengeluh
kepada Titisari,
"Titisari,
aku kena racun..." Habis berkata demikian, terus saja ia melompat
merangsak Pringgasakti.
Aku
harus merebut obat pemunahnya, pikirnya.
Tetapi
Pringgasakti adalah seorang iblis yang licin. Tak mau lagi ia melayani, la
hanya mengelak dengan berloncatan dan lari berputaran.
Titisari
dan Wirapati kaget sekali mendengar suara keluhan Sangaji. Dari kaget, mereka
menjadi gusar. Ternyata Pringgasakti berhati palsu, keji dan biadab. Itulah
sesuatu hal yang tak pernah mereka duga. Maklumlah, mereka adalah keturunan
ksatria sejati. Meracun lawan tatkala sedang mengadu kepandaian adalah tabu.
"Abu!"
teriak Titisari. "Kau sudah kalah, mengapa meracun? Benar-benar kau iblis
seperti kata orang. Pantaslah kamu sampai hati mengkhianati ayahku. Hayo,
keluarkan obat pemunahnya."
Pringgasakti
berlagak tak mendengar ujar Titisari. Masih saja ia lari berputar-putaran
dengan tertawa bergelak-gelak. Ia girang benar, melihat Sangaji terus
mengubernya tanpa berhenti. Pikirnya dalam hati, makin mengeluarkan tenaga
makin dekatlah saat mampusmu. Racunku akan bekerja dengan hebat. O, terima
kasih kau janda Calon Arang yang sudi mewariskan ilmu racunmu kepada anak
turunanmu. Siapa menyangka, bahwa dengan ilmu kepandaianmu aku berhasil
membalaskan dendam, adikku?
Janda
Calon Arang seorang sakti aliran sesat pada zaman Erlangga. la beragama Durga
dan malang melintang tiada lawannya. Dalam menekuni ilmunya, seringkali dia
mengadakan percobaan-percobaan dengan meracuni penduduk sekitarnya. Bahkan
lambat-laun menyerang ibukota dan berani memusuhi raja. Tapi ia dikalahkan oleh
seorang sakti lainnya bernama Empu Baradah.
Dengan
matinya janda yang kejam itu, lenyap pula ilmunya dari percaturan orang. Tak
tahunya setelah melalui tujuh abad, muncullah Pringgasakti sebagai tokoh sakti
yang mengejanal ilmu jahat itu. Siapa gurunya, sejarah tak dapat membuka
tabirnya.
Sesungguhnya,
setelah berputar-putar beberapa saat lamanya, mata Sangaji mulai terasa menjadi
kabur. Kepalanya pusing, benaknya seperti kena tusuk ribuan jarum. Tubuhnya
lantas saja menjadi panas. Belum selintasan sudah menggigil bagai seseorang
menderita sakit demam. Itulah suatu tanda bahwa racun Pringgasakti mulai
bekerja
Titisarir
cemas melihat keadaan kekasihnya. Ternyata wajah Sangaji berubah menjadi pucat
lesu. Semangatnya merembes seperti air.
“Aji
mundurr!"
Mendengar
suara kekasihnya, tersadarlah Sangaji. Cepat ia menghentikan langkahnya,
nafasnya tersengal-sengal. Semangatnya terasa terbang, la tahu, apabila
kekasihnya cemas melihat suatu dasar alasan yang kuat, takkan mencegah sepak
terjangnya dengan sunguh-
sungguh.
Tetapi hatinya masih penasaran terhadap kekejian dan kepalsuan lawan, ingin ia
menggempur sekali mati, agar bisa bersama-sama memasuki liang kubur. Sayangnya,
terasa lemas tak berdaya. Tetapi di luar dugaan, terjalinlah suatu keajaiban
yang tak pernah terpikirkan.
Seperti
diketahui, ilmu sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Yakni, pukulan keras
dan lembek. Tanpa disadari Sangaji sendiri, ia telah melontarkan pukulan
lembek.
Maklumlah,
enam pokok pukulan yang merupakan jurus ilmu sakti Kumayan Jati belum
diwariskan kepadanya.
Ternyata
pukulan lembek itu berdasarkan suatu himpunan tenaga yang terpusat. Kemudian
dilepaskan dengan perlahan, seperti seseorang yang menahan napas tatkala
tersengal-sengal. Sangaji menaruh dendam besar kepada Pringgasakti. Semangatnya
berkobar-kobar untuk menggempur mati. Tetapi kemudian untuk melontarkan pukulan
penuh dendam itu dengan titik-balik tenaga, gagal karena tenaganya seolah-olah
lenyap. Justru itulah letak rahasia pukulan lembek. Begitu pukulan itu
dilepaskan dengan asal-asalan, mendadak saja Pringgasakti memekik kaget.
Pundaknya tiba-tiba terhajar tanpa sepengetahuannya. Lantas saja ia jatuh
terjungkal.
Titisari
dan Wirapati melihat, tatkala Sangaji melepaskan suara pukulan. Di saat itu
mereka hendak menyerang Pringgasakti. Mendadak saja, mereka merasa seperti
disibakkan oleh suatu gumpalan awan bergulungan. Cepat mereka meloncat ke
samping. Berbareng dengan itu, mereka melihat Pringgasakti kaget sampai
berjingkrak. Inilah suatu kejadian di luar dugaan mereka.
Sebentar
Titisari tercengang-cengang, mendadak saja suatu ingatan menusuk benaknya.
Cepat ia menghampiri Sangaji dan memeluknya sewaktu akan roboh. Bisiknya
setengah girang.
"Engkau
kena racun, tetapi masih bisa memukul dari jauh. Pastilah itu jasa getah
saktimu. Cepat, pusatkan seluruh perhatianmu untuk menghimpun tenaga getah
sakti! Berusahalah mendesak racun iblis itu ke ujung jari. Kemudian lontarkan
pukulan semacam tadi."
Saat
itu, mata Sangaji sudah benar-benar menjadi kabur. Pendengarannya berubah lemah
pula. Ia seperti kena obat bius yang segera meluluhkan semua tenaganya. Tapi
ingatannya masih bisa bekerja. Begitu mendengar bisik Titisari, cepat-cepat ia
menyedot napas ajaran tata napas Ki Tunjungbiru. Benar juga! Tiba-tiba suatu
hawa hangat bergolak di dalam perutnya.
Kemudian
bergulungan mengitari pusat. Itulah cara menghimpun tenaga ajaran Ki
Tunjungbiru yang menurut Gagak Seta bernama ilmu Bayu Sejati. Setelah itu,
perlahan-lahan ia menyalurkan gumpalan hawa hangat ke dadanya. Dari sana terus
menyalur ke lengannya. Hampir saja dia berhasil, tetapi tiba-tiba ia mendengar
kesiur angin. Dan itulah kesiur angin tenaga pukulan Pringgasakti.
Iblis
itu gusar bukan kepalang kena pukulan yang luput dari pengamatannya. Selama
hidupnya, belum pernah ia mengalami kejadian demikian. Waktu itu ia benar-benar
terjungkal sampai mencium tanah. Seluruh tubuhnya menggigil, karena menahan
rasa nyeri. Dengan menggerung keras, ia bangkit dan terus menyerang dengan
menutup mata. Tetapi di tengah jalan, ia dirintangi Wirapati. Terpaksa ia
menyibakkan penghalang itu. Dengan demikian, tenaga serangannya agak berkurang.
Belum lagi ia bisa menyibakkan benar-benar terdengar pulalah suatu serangan
dahsyat dari samping. Itulah serangan Bagus Kempong murid ketiga Kyai Kasan
Kesambi. Kaget ia memiringkan tubuh dengan bergulingan. Dan benar-benar hebat
iblis itu. Meskipun ia kena serang begitu cepat danganas, namun masih saja
tangan bisa mencengkeram ke arah Sangaji. Hanya saja, ia menjadi kaget. Kelima
jarinya menjadi panas dan pedih. Selain itu, gatal pula. Cepat ia menarik dan
memeriksanya. Ternyata kelima jarinya kena duri tajam baju Titisari, yang
melindungi dada dan punggung.
"Wuhaaaa!"
jeritnya tinggi karena mendongkol.
Pendekar-pendekar
lainnya yang tadi mengkerubut Wirapati dan Bagus Kempong, ternyata tiada
bergerak dari tempatnya. Meskipun Manyarsewu dan Cocak Hijau beradat
berangasan, mereka termasuk tokoh-tokoh pendekar yang menjunjung tinggi sifat
ksatria. Mereka benci melihat Pringgasakti berhati keji dan palsu dengan
meracun lawan. Sawungrana dan Abdulrasim pun diam-diam ikut mengumpat kepalsuan
itu pula. Dengan demikian, Wirapati dan Bagus Kempong bisa melawan Pringgasakti
dengan perhatian penuh.
Oleh
perlindungan Wirapati dan Bagus Kempong yang cukup tangguh, Sangaji jadi tak
terganggu lagi. Pemuda itu terus memusatkan seluruh tenaga getah sakti.
Beberapa saat kemudian, berhasillah dia mendesak racun jahat Pringgasakti
sampai ke ujung jari. Kini ia melihat, ujung jarinya meng-uapkan asap tipis.
Kiranya dengan cara de-mikianlah, mengapa tangan Pringgasakti nampak selalu
berasap. Ternyata yang berasap itu adalah semacam asap tipis, tergolong salah
satu ilmu karang ) yang sudah lama hilang dari percaturan manusia.
Titisari
bergembira melihat kekasihnya berhasil mendesak racun yang merayap ke dalam
tubuhnya. Wajahnya sudah kembali menjadi merah segar! Dengan luapan hati, ia
bertanya.
"Bagaimana?"
"Aku
berhasil," sahut Sangaji dengan tersenyum bersyukur. "Rasa runyam
dalam tubuhku, begini lenyap dengan cepat. Rupanya racun ini bisa bekerja
dengan cepat dan hilang pula dengan cepat."
"Tapi
mengapa masih berasap?"
"Benar-benar
aneh sifat racun ini. Serasa ada sebuah gelembung sebesar bongkah batu melekat
di ujung jari."
Titisari
diam sejenak. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pengalaman sebulan yang lalu di
dalam gua. Sangaji berhasil menggempur dinding gua dengan sekali gempuran. Maka
ia berkata dengan penuh harapan.
"Aji!
Kau berhasil mendesak racun itu sampai ke ujung jari. Hanya saja, engkau belum
berhasil membebaskan dan melontarkan. Mengapa?"
Sangaji
mencoba melontarkan gelembung asap yang melekat di ujung jari. Tetapi ia tak
berhasil, mencoba lagi, dan tetap tak berhasil juga. Akhirnya, dia
menggelengkan kepala, karena tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Bagaimana
caramu mendesak racun berasap itu?" tanya Titisari cemas.
"Dengan
ilmu tata napas Ki Tunjungbiru."
"Hai,
bukankah menurut Paman Gagak Seta, bernama Bayu Sejati?"
Sangaji
mengangguk.
"Kau
dahulu pernah menggempur dinding gua dengan mengadukkan tata-napas Bayu Sejati
dan Kumayan Jati. Mengapa sekarang tak kaucoba?"
Memang
Sangaji sudah mempunyai pikiran demikian. Hanya saja, ia masih gentar
memperoleh pengalamannya dahulu. Bukankah dia hampir tak dapat bernapas. Kini
dalam tubuhnya mengalir pula hawa beracun. Tanpa petunjuk Gagak Seta, ia bisa
mengalami bahaya. Sedangkan dahulu saja, tubuhnya hampir pecah. Karena itu, ia
menjawab, "Aku tak berani. Racun masih melekat pada jalan darah."
Titisari
jadi kecewa. Harapan untuk dapat memukul roboh Pringgasakti dengan suatu
pukulan ajaib, meredup. Mendadak ia berkata lagi, "Tapi kau tadi bisa
melontarkan pukulan dari jauh. Mengapa?"
Diingatkan
tentang pukulan yang baru saja dilontarkan tadi, terbangunlah semangat Sangaji.
Terus saja ia menghimpun tenaga sambil menyahut, "Tadi aku menggunakan
tata-napas Kumayan Jati tatkala memukulkan, tenagaku terhalang."
"Tapi
hasilnya bagus. Cobalah!" Titisari memberi semangat.
Betapa
lemah seorang pemuda. Tapi apabila diberi semangat oleh kekasihnya, akan
terbangun pula keberaniannya. Maka ia segera berdiri. Cepat ia menyalurkan
gelombang tata-napas Gagak Seta. Seperti diketahui, sifatnya galak dan mendesak
dengan sekuat tenaga. Alangkah girang hatinya, karena gelembung asap beracun
itu terasa tersembul ke luar. Kini terasa tinggal sejalur benang belaka yang
masih melekat pada ujung jari.
"Guru
minggir!" teriaknya.
Berbareng
dengan teriakannya, dilontarkan-lah gelembung asap beracun itu berbareng dengan
pukulan lembek ilmu sakti Kumayan Jati.
Mendengar
seruan Sangaji, Wirapati dan Bagus Kempong dengan berbareng melompat ke
samping. Mereka ingat, Sangaji bisa memukul Pringgasakti dari jarak jauh. Maka
berbareng dengan loncatannya, suatu gumpalan angin halus terlontar bergulungan.
Pringgasakti sedang repot menghadapi serangan Wirapati dan Bagus Kempong yang
cepat dan berbahaya. Dia pun tak mengira, Sangaji bisa pulih kembali begitu
cepat. Tahu-tahu dadanya jadi sesak, la merendah dan terhajarlah pundaknya.
Tanpa bersuara lagi, ia roboh terguling. Secepat kilat Wirapati menghampiri dan
menyabetkan pedangnya.
"Guru!
Ampuni dia!" teriak Sangaji, sambil menangkis pedang Wirapati dengan
pukulan lembek pula. Wirapati segera meloncat mundur dan berdiri berdampingan
dengan kakaknya seperguruan yang tangguh.
Waktu
itu, Pringgasakti sudah tertatih-tatih bangun lagi. Ia nampak agak sempoyongan,
tetapi masih mau melawan. Sangaji jadi perasa. Berkatalah anak muda itu,
"Hari ini, baiklah kita akhiri saja permusuhan kita. Kami tak akan
meghukum kau yang berlaku curang. Nah, pergilah dengan selamat!"
"Hm!"
dengus Pringgasakti. "Kau hebat benar. Kau bisa membebaskan diri dari
racunku, malahan dapat pula mengembalikan."
Setelah
berkata demikian, ia merogoh sebungkus ramuan obat dari sakunya. Lekas-lekas ia
menelannya dan segera menyalurkan napas untuk mengusir asap racunnya sendiri.
Sekonyong-konyong,
berkelebatlah sesosok bayangan. Dialah orang yang mengenakan jubah abu-abu dan
bertopeng hantu. Tahu-tahu, punggung Pringgasakti kena tercengkeram dan terus
diangkat tinggi-tinggi, berbareng dengan itu, terus melesat sambil menggondol
Pringgasakti.
Peristiwa
itu benar-benar mengagetkan dan mengagumkan semua yang melihat. Pringgasakti
adalah seorang iblis sakti. Tetapi dengan mudah, hantu berjubah abu-abu itu
dapat menerkamnya demikian rupa sehingga tak berdaya sama sekali. Tenaganya
luar biasa kuat dan tangkas melebihi manusia wajar. Keruan saja, makin
direnungkan makin menakjubkan hati, sampai-sampai pendekar Majarsewu dan Cocak
Hijau yang biasanya mengagungkan kepandaiannya sendiri, berdiri terlongoh.
Wirapati,
Bagus Kempong, Sangaji dan Titisari saling berpandang. Dalam hati mereka
masing-masing timbulah suatu keinginan memperoleh keterangan tentang hantu itu.
Sadar bahwa mereka benar-benar gelap mengenai hantu itu, maka sasaran mereka
kini mengarah kepada para pendekar. Tetapi pendekar-pendekar ini pun setali
tiga uang seperti keadaan mereka. Karena itu, akhirnya mengalamatkan teka teki
hatinya kepada Sanjaya. Maklumlah, mereka kenal Pringgasakti sebagai gurunya.
Tetapi Pringgasakti tadi, tiada kenal pula dengan asal-usul hantu itu. Bahkan
ia mencoba menangkapnya, namun selalu gagal.
Sebaliknya
Titisari yang ingatannya tajam, berpikir lain melihat Sanjaya, teringatlah ia
pada Nuraini. Antara pemuda itu dan Pringgasakti tadi terjadilah suatu
percakapan samar-samar mengenai Nuraini. Nampaknya dalam hal ini, Nuraini
memegang peranan pula.
Sesungguhnya
munculnya Pringgasakti dengan tiba-tiba itu adalah jasa Nuraini. Malam itu,
setelah melompat ke luar jendela, terus saja ia hendak pulang ke pondok.
Hatinya girang bukan
main.
Apabila teringat akan dekapan Sanjaya mukanya merah dan terasa panas. Tetapi
mulutnya dengan tak disadarinya, selalu menyungging senyum menggigit.
Ontunglah, waktu itu malam hari. Keadaan wajahnya terlindung kepekatan malam.
Selain itu, dusun sangat sunyi. Seumpama keadaan demikian terjadi pada siang
hari, pastilah dia akan disangka orang gendeng.
Selagi
ia merenung-renung, pundaknya ditepuk perlahan amat lembut. Terkejut ia
melompat ke depan. Kemudian menoleh cepat sambil mempersiagakan tangan.
Berbareng dengan itu terdengarlah suara lemah lembut,
"Nuraini!
Malam ini kau tidur di mana?"
Hatinya
lega luar biasa, melihat siapa yang berbicara. Karena dia adalah pujaan
hatinya. Ternyata Sanjaya mengikuti dirinya dengan diam-diam tatkala
meninggalkan rumah almarhum Wayan Suage dan Made Tantre.
Sesungguhnya,
demikian halnya. Kedatangan Sanjaya ke Dusun Karangtinalang, adalah atas
perintah Pangeran Bumi Gede, untuk menyelidiki benda mustika warisan Pangeran
Semono yang diimpi-impikan semenjak belasan tahun yang lalu. Teringat, bahwa
benda mustika tersebut dahulu dibawa oleh Wayan Suage, maka Pangeran itu men-duga
bahwa dengan munculnya Wayan Suage kembali, berarti munculnya wasiat Pangeran
Semono juga. Dari keterangan sang Dewaresi, ia mendengar kabar bahwa Wayan
Suage dahulu membawa benda mustika tersebut di sekitar kali Jali. Karena itu ia
segera memanggil Sanjaya agar mengikuti ke mana perginya kawan Wayan Suage yang
membawa mayatnya. Dia menaruh harapan besar pula, bahwa Sanjaya akan berhasil
memperolehnya, mengingat anak itu adalah keturunan Wayan Suage. Siapa tahu,
bahwa sebelum Wayan Suage menghembuskan napasnya yang penghabisan sudah
membisiki tentang beradanya benda mustika Pangeran Semono kepada salah seorang
di antara mereka yang melindungi dirinya. Ontuk diwariskan kepada anaknya. Maka
dengan sungguh-sungguh ia berkata kepada anak angkatnya.
"Tanpa
benda wasiat Pangeran Semono, ayahmu ini takkan berhasil menaiki tahta
kera-jaan. Sebaliknya apabila engkau berhasil membawa pulang benda mustika
tersebut akan memudahkan ayahmu naik tahta. Dan itu berarti kebahagiaanmu pula.
Engkau akan kuangkat menjadi patih. Dengan demikian, ayah dan anak tercatat
oleh sejarah sebagai pembangun kerajaan baru."
Sanjaya
tahu bahwa ayahnya sedang merebut tahta kerajaan dengan diam-diam. Karena
dengan giatnya mengumpulkan pendekar-pendekar pilihan dari seluruh wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur agar menjadi pembantunya yang setia. Maka dia
mendengarkan tiap kata ayahnya dengan sungguh-sungguh.
"Benda
wasiat Pangeran Semono dulu dibawa lari ke sekitar lembah Sungai Jali.
Kurunglah lembah itu untuk satu pancingan. Apabila salah seorang dari mereka
muncul di sekitar lembah, janganlah beragu lagi. Teruslah bertekun dan
bertindaklah mengimbangi keadaan. Rebutlah kembali hak-milikmu. Kalau kau
berhasil, dunia ini berada dalam genggafnanmu," kata Pangeran Bumi Gede.
Sanjaya
girang mendengar ucapan ayahnya. Ia percaya ayahnya sangat cerdik dan pandai.
Ia tahu pula, di belakang ayahnya berdiri Patih Danurejo II dan kompeni.
Demikianlah
maka dia mulai membagi pekerjaan, ia mengikuti perjalanan ayahnya pulang ke
Bumi Gede sampai di persimpangan Ambarawa. Sedang Yuyu Rumpung dengan
Sawungrana diperintahkan untuk mengambil jalan pegunungan. Dia ditugaskan untuk
menjejak dan menyelidiki di mana mayat Wayan Suage dikebumikan.
Sanjaya
sendiri, kemudian membawa empat orang pendekar dan empat puluh tentara berkuda,
la mengambil jalan lewat Magelang atas petunjuk-petunjuk ayahnya. Kemudian
mengurung Dusun Karangtinalang, setelah memperoleh laporan Yuyu Rumpung bahwa
pendekar itu telah
berjumpa
dengan Sangaji dan Titisari. Tetapi, ternyata ia tak berhasil. Seluruh dusun
sudah diaduknya. Sangaji dan Titisari tetap tak dapat diketemukan.
Beberapa
hari kemudian, datang suatu laporan bahwa para pendekar melihat berkele-batnya
sesosok bayangan yang mencurigakan. Sekaligus terbangunlah kecurigaannya. Ia
menduga, tentang salah seorang kawan yang dulu melindungi Wayan Suage. Mendadak
saja muncullah Nuraini di luar dugaannya. Betapa dia takkan girang. Dengan
diketemukan Nuraini, akan terbukalah tabir yang menggelapkan penyelidikannya.
Maka ia tak mau membiarkan burung itu terlepas dari intaiannya. Begitu Nuraini
hilang meloncati jendela, terus saja ia menguntitnya.
"Kau
mau apa?" Nuraini membalas per-tanyaannya dengan jantung berdegupan.
Sanjaya
seperti menyesali diri, berkata dengan hati-hati.
"Satu
minggu aku berada di sini, dan sama sekali tak kuketahui bahwa itu adalah rumah
kita. Mestinya aku memberi kabar kepadamu. Tapi di mana engkau berada selama
ini belum kuketahi pula. Ah, tentunya kamu tersiksa dalam satu minggu ini. Di
mana kamu terpaksa menumpang tidur?"
"Bukankah
sudah kukatakan, bahwa malam ini aku hendak menginap di rumah sahabatku?"
"Siapa
sahabatmu itu?"
Nuraini
tak lekas menjawab pertanyaan itu. la sibuk menimbang-nimbang. Dia tahu,
kekasihnya bermusuhan dengan Sangaji, mengingat pertengkarannya dahulu di arena
adu nasib di Pekalongan. Apabila mendengar Sangaji berada di sekitar dusun itu,
pastilah akan terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Tetapi karena sudah
terlanjur berbicara tentang seorang sahabat, mau tak mau ia harus menerangkan.
Clntung dia cerdik. Maka cepat-cepat ia memberi keterangan.
"Semenjak
kanak-kanak, aku tinggal di dusun ini. Seluruh dusun ini adalah sahabatku.
Mengapa engkau mengurus siapakah sahabatku."
Sanjaya
adalah pemuda yang licik dan licin. Meskipun menaruh curiga pada Nuraini, ia
bisa berlagak tak menghiraukannya lagi. Dengan lembut, ia menarik lengan
Nuraini dan diajaknya duduk di atas tanggul jalan.
"Nuraini,
aku hendak berbicara kepadamu."
Nuraini
menjatuhkan diri ke sampingnya. Hatinya berdetak-detak. Maklumlah, hatinya
memang sudah runtuh terhadap pemuda itu.
"Tahukah
kamu mengapa aku datang ke dusun ini?" Sanjaya berkata lagi.
"Hm,
bukankah dusun ini adalah tempat kelahiranmu?" tukas Nuraini.
"Ah,
ya." Sanjaya seperti tersadar. Kemudian berkata lagi. "Sebenarnya aku
sedang bertaruh."
"Bertaruh?"
"Di
dalam keluarga kami, bertaruh merupakan suatu kegembiraan yang tak ternilai
harganya. Di dalam pertaruhan itu, seseorang akan diajar memiliki sifat-sifat
kejantanan dan kecerdasan otak yang cemerlang."
"Eh,
mengapa begitu?" Nuraini heran.
"Kelak,
kamu bakal mengerti sendiri apabila telah memasuki keluarga kami."
Betapa
girang gadis itu tatkala mendengar impian yang mendatang begitu empuk dan
sedap, tak terperikan. Lantas saja ia berpikir, kiranya dia mencintai aku hanya
saja ia terhalang oleh peraturan-peraturan tertentu. Maka berkatalah dia dengan
napas tersekat-sekat.
"Ayah-angkatku
adalah ayahmu sejati. Apakah benar-benar kau menganggap dirimu seorang anak
pangeran? Ah, sayang!"
"Mengapa?"
Sanjaya terkejut seperti tersengat lebah. Memang, berkat kelicinannya ia sudah
dapat menebak hati Nuraini. Apabila bisa membawa diri, pastilah dia berhasil
mengorek keterangan dari mulut Nuraini di manakah Sangaji kini berada. Dengan
jalan mengemukakan
keadaan
keluarganya, dia bermaksud hendak menanamkan pengaruh kewibawaannya. Dipercaya,
apabila Nuraini telah jatuh hatinya benar-benar pasti akan patuh pada setiap
kehendaknya. Tak tahunya gadis itu mendadak berpaham jauh berlainan.
"Sampai
saat ini, kukira kau seorang yang pandai dan gagah. Aku membohongi diriku
sendiri, bahwasanya engkau ikut pangeran itu semata-mata dengan perhitungan
tertentu. Pastilah sebentar lagi, engkau akan kembali ke dusun tempat
kelahiranmu. Dugaanku ternyata dikuatkan oleh munculnya tiba-tiba di dusun
tempat engkau dilahirkan dan ditimang-timang ayahmu sejati semasa
kanak-kanak," kata Nuraini.
Sanjaya
terdiam mendengar ujar Nuraini yang terucapkan dengan nada tertekan-tekan.
Itulah suatu tanda bahwa dia lagi berbicara dengan hatinya. Dan betapa palsu
hati Sanjaya, ia jadi terharu juga.
"Rupanya
kamu lebih mengetahui keadaanku semasa kanak-kanak, daripada aku sendiri,"
ia mengalah.
"Ayahmu
sendiri yang membicarakan dirimu," sahut Nuraini. Kemudian gadis itu
mengungkapkan riwayat keluarga Sanjaya menurut tutur-kata almarhum Wayan Suage.
la bercerita dengan penuh semangat dan tak terputuskan, sampai tahu-tahu fajar
terasa menguak di timur.
Sebagai
seorang yang cerdas, tahulah Sanjaya bahwa maksud gadis bercerita begitu bertele-tele
adalah untuk menarik dirinya ke pihaknya. Ia dianjurkan pula, agar meninggalkan
kehidupan bangsawannya dan kembali kekehidupan asal-usul. Dengan demikian
tataran dirinya akan sama derajat dan sama martabat. Tapi betapa dia dapat
dipengaruhi demikian gampang. Hati dan darah pemuda itu sudah tertanam dalam,
di dataran keluarga bangsawan. Apalagi setelah menjenguk Dusun Karangtinalang.
Keadaannya terlalu lengang dan sunyi mati. Bagaimana ia dapat hidup di dusun
demikian. Apa pula mata-pencaharian-nya untuk hidupnya di kemudian hari.
Kenang-kenangannya semasa kanak-kanak dahulu terlalu tipis, sehingga tak kuasa
menanamkan bibit pembawaan. Tetapi ia dapat berlaku cerdik dan licin. Dengan
sabar ia mendengarkan tutur kata gadis itu.
Nuraini
sendiri tak menginsapi keadaan Sanjaya. Hatinya penuh nyanyian kasih yang
murni, sehingga ia mengukur Sanjaya seperti mengukur bajunya sendiri.
"Sanjaya!"
Katanya setengah berbisik. "Ayahmu dahulu terpaksa kubakar jenazahnya di
tengah jalan. Tetapi abunya akan kutanam di sini."
"Ah!"
Sanjaya terkejut. Hatinya tergetar juga. Tetapi maklumlah, sebenarnya tentang
sepak terjang Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru,
Sangaji, Titisari dan Nuraini sewaktu membakar mayat Wayan Suage sudah diintip belaka
oleh Yuyu Rumpung dan kemudian dilaporkan sewaktu dia tiba di Dusun
Karangtinalang.
Nuraini
mengira, Sanjaya belum mengetahui peristiwa itu. Maka dia terus mengabarkan.
Kemudian dikabarkan pula bahwa para pendekar itu akan segera menyusul Wirapati dan
dia yang berangkat dahulu ke Karangtinalang.
"Kak
Sangaji berada pula di sekitar dusun ini," kata Nuraini.
"Sangaji?
Siapa dia?" Sanjaya berpura-pura tolol.
"Ah,"
tiba-tiba Nuraini terperanjat. Ia insyaf akan ketelanjurannya. Tetapi sadar
bahwa tiada gunanya untuk menyesali diri, maka dia berkata dengan setengah
berdoa.
"Dialah
anak sahabat almarhum ayahmu. Itulah pemuda yang dahulu muncul di arena adu
nasib. Kaupun pernah berhantam. Bukankah menggelikan? Sebenarnya engkau harus
meneruskan tali persahabatan orangtua-mu."
Mendengar
Sangaji berada di sekitar Dusun Karangtinalang, tergetarlah hati Sanjaya.
Dengan kesabarannya, ternyata usahanya nampak berhasil. Cepat ia menyembunyikan
gejolak hatinya,
la
berdiri tegak seolah-olah sedang terharu.
"Apakah
dia berada di sini?" tanya Sanjaya minta keterangan.
"Ya.
Mengapa?"
"Di
mana dia kini berada?"
"Apa
maksudmu?"
"Ah!
Masa kamu tak tahu?" Sanjaya gugup. Kemudian berpikir, biarlah dia kubawa
kembali ke Pesanggrahan. Di sana dia kukurungnya. Kemudian aku memerintahkan
Paman Abdulrasim, Yuyu Rumpung, Manyarsewu dan
Cocak
Hijau menangkap bocah itu. Masakan akan gagal?
Memperoleh
pikiran demikian, segera ia meraih lengan Nuraini sambil berkata penuh sesal.
"Lihat! Aku begini gopoh. Semenjak peristiwa di Pekalongan, hatiku luar
biasa gelisah. Aku merasa bersalah. Karena itu, ingin aku menemui dia untuk
membicarakan suatu hal yang penting. Lebih cepat lebih baik."
"Kamu
hendak berbicara mengenai apa?" tiba-tiba suara Nuraini keras.
Sanjaya
diam sejenak. Pikirannya bekerja keras.
"Ingatkah
kau tadi, bahwa aku membicarakan perkara pertaruhan? Sebenarnya aku lagi
bertaruh demi ibuku."
"Bertaruh
demi ibumu?" Nuraini terperanjat berbareng heran.
"Ya.
Kau ingin mendengar? Dengarkan," sahut Sanjaya cepat sambil menggandeng
Nuraini berjalan perlahan-lahan menuju ke pesanggrahan.
"Setelah
peristiwa di Pekalongan dahulu ibuku terus jatuh sakit," katanya
mengada-ada. "Semua tabib diundang untuk memeriksa penyakitnya. Tetapi
semuanya gagal. Mereka meramalkan, bahwa ibuku takkan sembuh kembali. Tetapi
aku berani bertaruh, bahwa ibuku akan dapat kusem-buhkan."
"Dengan
cara bagaimana?" Nuraini tertarik.
"Karena
aku tahu, Ibu terlalu memikirkan putera Paman Made Tantre. Ingin beliau membawa
anak paman itu hidup bersamaku di istana Bumi Gede, karena itu aku datang ke
Karangtinalang. Niatku hendak mencarinya sampai ketemu. Aku percaya, bahwa dia
berada di dusun ini. Hanya saja, aku belum berhasil menemukan tempatnya berada.
Ia berhenti mencari kesan. Meneruskan, "Nuraini! Apakah kau tak
menginginkan Ibu sembuh kembali?"
"Tentu
saja! Mengapa kau berkata demikian?" Nuraini menyahut cepat." Tapi
yakin, bahwa kak Sangaji takkan sudi datang dan hidup bersama di rumah bukan
keluarganya."
"Benarkah
itu? Kau berani bertaruh?"
"Aku
berani bertaruh." Nuraini yakin. Dan mendengar ucapannya, Sanjaya tertawa
senang.
"Mengapa
kau tertawa?" tegur Nuraini.
"Nah,
apa kubilang tadi. Belum lagi kau memasuki keluargaku, kau sudah mulai mengerti
arti kata bertaruh. Alangkah bahagianya kelak, apabila kamu hidup di sampingku
bersama anak Paman Made Tantre."
Nuraini
terperanjat mendengar ujar Sanjaya. Ya, tanpa disadari sendiri dia mulai
bertaruh pula. Inilah suatu kekalahan. Tetapi hatinya terhibur mendengar
rencana hidup Sanjaya di kemudian hari. Sebagai seorang gadis yang sedang
dimabukkan kasih, kata-kata demikian benar-benar seperti mimpi kejatuhan bulan.
"Itukah
kehendakmu hendak berbicara dengan Kak Sangaji?" ia mencari keyakinan
lagi.
"Ya.
Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membujuknya agar sudi mengunjungi ibuku.
Syukur dia mau terus berdiam bersamaku. Tentu saja bantuanmu sangat
kupinta."
Nuraini
diam menimbang-nimbang. Lama dia berdiam diri. Dan sementara itu, mereka telah
sampai di Pesanggrahan. Segera Sanjaya membawanya masuk ke dalam rumah. Seperti
tadi, mereka duduk berhadap-hadapan bahkan agak berdekatan.
"Apakah
dia berada di dekat rumah kita ini?" Sanjaya menegas yang dimaksudkan dia
adalah Sangaji, karena ia enggan memanggil nama itu.
"Sebentar
lagi matahari terbit. Kuantarkan nanti ke pondoknya," kata Nuraini.
Sanjaya
merasa tak dapat memaksa lagi. Pikirnya, apakah dia mencurigai aku? Baiklah
kusuruhnya seluruh tentara berkuda berangkat terlebih dahulu. Dengan kepergian
mereka dia pasti mempercayai aku.
Memperoleh
pikiran demikian, segera ia memberi perintah kepada seorang penjaga
membangunkan pemimpin pasukan. Apabila sudah menghadap, ia memerintahkan agar
tentara berkuda semua berangkat pulang ke Bumi Gede. Setelah itu, ia memanggil
Yuyu Rumpung, Manyarsewu, Cocak Hijau, Sawungrana dan Abdulrasim. Mereka semua
diberi perintah untuk berangkat pulang dengan mengedipkan mata.
"Antarkan
paman-paman ini sampai ke per-simpangan jalan. Kemudian Paman menunggu
kedatanganku," katanya kepada Abdulrasim.
Kelima
pendekar itu segera berangkat bersama seluruh pasukan berkuda. Itulah sebabnya,
tatkala Sangaji dan Titisari meninggalkan pondok, mereka tak melihat lagi
tentara berkuda Sanjaya yang mendiami rumah ayahnya.
Dalam
hal tata kecerdikan dan kelicinan, bagaimana dapat Nuraini melawan Sanjaya.
Maka gadis itu benar-benar percaya, bahwa maksud Sanjaya adalah benar-benar
membersit dari ketulusan hatinya. Apabila tidak, mengapa memerintahkan semua
tentara berkuda dan pengawalnya meninggalkan dusun. Sama sekali ia tak menduga
arti kedipan mata itu yang banyak mengandung arti dalam. Bagi seorang pendekar,
cukuplah sudah untuk menduga-duga. Sebaliknya bagi seorang gadis seperti
Nuraini yang belum banyak makan garam, bagaimana bisa mengetahui maksud hati
Sanjaya. Maka setelah membersihkan badan, dengan senang ia mengantarkan Sanjaya
menjenguk pondok Sangaji yang berada di luar batas dusun, la tak mengetahui,
bahwa pada waktu itu para pendekar mengikutinya dari jauh.
Waktu
itu matahari telah agak tinggi di udara. Angin pegunungan mulai terasa meraba
tubuh. Suasana di pedusunan riang gembira. Penduduknya keluar halaman, berjuang
memenuhi kebutuhannya masing-masing.
Nuraini
terus saja memasuki pondok dengan memanggil nama Titisari. Betapa kagetnya, ia
menjumpai pondok itu kosong melompong. Nampaknya, baru saja ditinggalkan.
Seperti diketahui, Sangaji dan Titisari berangkat meninggalkan pondok hampir
berbareng dengan terbitnya matahari. Mereka menjauhi jalan dusun. Dengan
demikian perjalanan mereka tak kepergok Sanjaya dan Nuraini.
Menyaksikan
peristiwa itu, hati Sanjaya mendongkol bukan main. Ingin ia memaki-maki gadis
itu, apa sebab semalam tiada menunjukkan tempat beradanya buruannya dengan
segera. Syukur, dia bisa menahan hati. Bukankah dia berkata kepada gadis itu
untuk menemui Sangaji dengan maksud baik? Maka yang diperlihatkan kepada
Nuraini adalah rasa kecewanya. Sambil memeriksa ruang pondok itu, ia berkata
dengan mendongkol, "Mengapa dia pergi?"
Nuraini
tak lekas menjawab. Ia heran juga, mengapa Sangaji dan Titisari tiba-tiba
mening-galkan pondok. Sibuklah dia menebak-nebak. Tak disadari, terloncatlah
perkataannya, "Barangkali gurunya yang mengajak pergi."
"Gurunya?"
Sanjaya terkejut. "Siapa?"
Nuraini
membungkam. Sadarlah dia, bahwa untuk yang kedua kalinya dia kelepasan
berbicara.
Maka
ia keluar pintu dan berdiri tegak di depan pondok dengan berenung-renung.
"Adik!"
mendadak Sanjaya memanggilnya dengan meng-adik.
"Apakah
aku tak dapat menyembuhkan sakit ibuku?"
Nuraini
berputar dengan pandang terharu. Menyahut, "mengapa?"
"Bagaimana
aku bisa bertemu dengan dia?"
Nuraini
mengerenyitkan dahi. Berkata, "Kutaksir, belum lama dia meninggalkan
pondok ini. Sekiranya engkau kejar, pasti akan bertemu."
Sebenarnya
Sanjaya tahu, bahwa Sangaji belum lama meninggalkan pondok. Tampak kaki dan
pembaringan jelas menyatakan bahwa semalam masih dibuat berbaring seseorang.
Hanya saja ia mempunyai rencana sendiri. Maka berpura-puralah dia dungu
terhadap Nuraini. Bertanya minta pertimbangan.
"Ya,
memang begitu. Tetapi ke mana dia pergi, inilah soalnya yang sulit. Guruku
memiliki ketajaman indera melebihi orang."
"Siapa?
Apakah Ki Hajar Karangpandan?"
Sanjaya
menggelengkan kepala.
"Apakah
yang muncul dahulu di alun-alun Pekalongan?" Mendadak Nuraini teringat.
Sanjaya
mengangguk. Dahinya berkerinyit. Dia lagi berpikir keras dengan menahan
kedongkolan hatinya. "Pikirnya, anak tolol itu didampingi gurunya. Para
pendekar sudah terlanjur meninggalkan dusun. Karena itu aku harus memanggil
guru. Dengan guruku seorang, semuanya akan beres. Setelah berpikir demikian dia
berkata memutuskan.
"Begini
saja. Apa kau sudi menolongku?"
"Demi kebaikanmu, mengapa tidak?"
Nuraini
percaya bahwa Sanjaya benar-benar bermaksud baik terhadap Sangaji.
"Guruku
mempunyai adat yang aneh. Dia selalu berlatih pada saat luang. Kini dia berada
di sekitar Secang. Pergilah engkau mencari padanya untuk menyampaikan
wartaku."
Sanjaya
kemudian menjelaskan di mana letak Secang. Ia mengeluarkan sebuah benda
berbentuk tengkorak manusia. Setelah diangsurkan, berkatalah dia mengesankan,
"Carilah sebuah simpang jalan yang mengarah ke sebuah gundukan. Di atas
gundukan itu, engkau akan menemukan tumpukan batu. Itulah tanda, bahwa guruku
berada di sana. Taruhlah benda itu di atasnya dan coretkan tanda mata angin di
mana aku kini berada. Setelah itu cepat-cepatlah pergi, sebelum guruku
muncul."
Kemudian
ia mengalungkan sapu tangan hitam bersulam seekor kuda.
"Pakailah!"
katanya' lagi. "Mungkin ada gunanya."
Nuraini
segera berangkat mengikuti pertun-juk itu. Ia mengarah ke timur laut. Menjelang
petang hari, sampailah dia di kota Magelang.
Magelang
adalah kota kompeni Belanda pada masa itu.Tangsinya berada dekat bukit Tidar.
Gardu pengintainya merupakan menara suar yang mempunyai penglihatan luas di
seluruh penjuru. Kotanya ramai dan penuh rumah-makan Tionghoa. Pasaran terbuka
terdapat di mana-mana. Penduduknya hilir-mudik tiada kunjung sepi, meskipun
masih kalah dengan kota Yogyakarta atau Surakarta.
Nuraini
tidak memperhatikan semua itu. Sesudah makan, cepat ia menuju ke utara. Di
batas kotapraja, ia berhenti sebentar mengintip penjagaan. Memang pada dewasa
itu, ada penjaga pintu bergiliran. Seseorang tak dapat dengan mudah
keluar-masuk kota sesuka hatinya.
Setelah
malam hari tiba, cepat Nuraini melintasi batas kota dan sebentar saja sampailah
dia di pinggiran. Seberang-menye-berang jalan berdiri petak-petak hutan dan
sawah. Jalan yang dirambahnya agak lumayan keadaannya apabila dibandingkan
dengan jalan pedusunan. Kira-kira bulan hampir tersembul di udara, dia telah
tiba di Secang. Di sana ia melihat persimpangan
jalan
menuju Temanggung.
Apakah
simpang jalan inikah yang dikehendaki Sanjaya? pikirnya. Sebentar ia
menim-bang-nimbang, kemudian segera membelok ke barat. Ia segera melihat sebuah
gundukan tanah yang berada agak jauh dari jalan raya.
Maka
tanpa ragu-ragu lagi, ia terus mendekati.
Dua
jam lamanya, ia mencari tumpukan batu. Masih saja dia belum menemukan, sehingga
hampir putus asa. Pikirnya, biarlah aku mencari penginapan dahulu. Besok pagi,
aku mencarinya lagi.
Tak
jauh dari tempat itu, nampaklah sebuah gubuk reyot. Dengan kegirangannya
larilah dia menghampiri. Mendadak saja, kakinya terantuk sebuah tumpukan batu.
la kaget sampai mundur. Sebab tatkala diamat-amati, ternyata bukanlah bongkahan
batu semata. Tetapi bercampur pula dengan beberapa kerat tulang-tulang manusia
dan binatang.
"Ih!"
hatinya tergetar. Ia hendak memutar tubuh untuk kabur. Hatinya ngeri luar
biasa. Maklumlah, kala itu dia berada di atas gundukan tanah yang tinggi.
Sekelilingnya remang. Keadaannya lengang dan senyap. Hanya terdengar
sekali-sekali angin mendesir menghembus daun. Untunglah, dia bukan pula seorang
gadis lemah hati. Dalam kengeriannya, masih bisa dia menenangkan diri. Sesaat
kemudian terpikirlah bahwa tiada perlunya takut. Oleh pikiran itu, dengan
memaksa diri ia bersenyum dan lantas saja menaruhkan benda Sanjaya di atas
tumpukan batu.
Tak
kukira, bahwa gurunya mempunyai adat
yang
aneh. Mestinya seorang yang luar biasa. Pantas, guru-guru Kak Sangaji
menyebutnya sebagai iblis. Apakah benar-benar dia iblis? pikirnya. Dan kembali
bulu kuduknya menggelidik. Memang dia mengenal guru Sanjaya dengan selintasan
saja, tatkala di Pekalongan. Waktu itu dia lagi bersimpuh sedih menghadapi
mayat Wayan Suage. Dengan demikian, tak begitu memperhatikan. Ia pun tak
mengetahui, bahwa guru Sanjaya mempunyai kebiasaan menghisap darah seorang
gadis. Apabila hal itu sudah diketahui, belum tentu dia sudi melakukan perintah
Sanjaya. Bukankah hal itu samalah halnya dengan mencari mati sendiri?
Sebentar
ia bermenung-menung di dekat tumpukan batu. Mendadak teringatlah dia kepada
pesan Sanjaya, agar meninggalkan tempat itu dengan segera. Percaya bahwa pesan
Sanjaya pasti ada maksudnya, maka cepat-cepat ia menuruni gundukan tanah itu.
Sebentar saja lenyaplah dia di kegelapan malam. Dengan demikianlah, ia
membatalkan maksudnya hendak menginap di gubuk reyot. Inilah nasibnya yang
baik. Sesungguhnya seseorang yang belum sampai pada batas perjalanan hidupnya,
seperti diselimuti dewa. Seumpama dia menginap di gubuk itu, belum tentu esok
hari bisa melihat matahari lagi seperti kemarin.
Malam
itu dia terus berjalan pulang ke Dusun Karangtinalang. Menjelang fajar sampai
dia di halaman rumah. Ia berharap bisa bertemu dengan Sanjaya. Ternyata pemuda
itu meninggalkan dusun dengan tiada kabarnya. Sebentar dia terlongong-longong
karena heran men-siasati perangai kekasihnya. Tapi karena lelah, akhirnya dia
tertidur tak setahunya sendiri.
Kira-kira
matahari menjenguk udara setengah penggalah tingginya, ia terbangun dengan
geragapan. Teringat akan kekasihnya, ia segera membersihkan badan. Kemudian
berusaha mencarinya, la yakin, bahwa kekasihnya masih berada di sekitar dusun
itu. Apabila tidak, mengapa memanggil gurunya. Demikianlah, menjelang tengah
hari sampailah dia di sebelah barat daya Dusun Karangtinalang. Jejak
kekasihnya, benar-benar lenyap tak keruan. Duduklah dia di pinggir jalan di
bawah sebatang pohon. Mendadak ia mendengar sesuatu. Cepat ia menajamkan
pendengaran. Tak usah lama ia menunggu. Odara sekonyong-konyong berubah menjadi
hitam pekat, la menengadah. Dan nampaklah ratusan ribu tabuan terbang
berdengungan
menutupi cahaya surya yang hendak mendekati bumi.
Tengah
dia sibuk menebak-nebak, pundaknya diraba oleh suatu tangan yang empuk
berdaging. Ia kaget bukan kepalang. Tanpa menoleh ia melesat ke depan, kemudian
sambil melindungi dadanya, ia memutar tubuh. Di luar dugaannya, orang yang
meraba pundaknya sudah berada pula di belakangnya dan kembali meraba pundak.
Keruan saja, ia kaget sekali dan cepat melesat ke depan. Tetapi kembali pula
pundaknya teraba dari belakang. Enam kali berturut-turut dia dipermainkan
demikian. Mau tak mau keringat dingin mulai berbicara.
"Kau
siapa?" akhirnya dia menegur dengan jantung berdegupan. Sadarlah dia,
bahwa orang yang meraba pundaknya itu pastilah bukan orang sembarangan.
"Benar-benar
manis. Siapakah kamu Nona?" terdengar suatu suara.
Cepat
Nuraini memutar tubuh dan di depannya berdirilah seorang laki-laki setengah
umur yang mengenakan pakaian putih bersih dan hiasan dada yang mentereng.
Dialah sang Dewaresi yang baru saja meninggalkan serambi rumah batu di Desa
Gebang sehabis dipermainkan Gagak Seta dan Titisari.
Nuraini
belum pernah mengenal sang Dewaresi. la hanya menduga, bahwa orang itu bukan
manusia baik dan pasti seorang pendekar sakti. Maka ia memutar tubuh dan lari
secepat-cepatnya. Tetapi sambil tertawa bening, sang Dewaresi dapat menyusulnya
ke mana saja berlari. Bahkan tiba-tiba saja, sang Dewaresi sudah berada di
depannya menghadang dengan tangan terbuka.
Nuraini
merasa tak berdaya. Hampir saja dia terhenyak masuk ke dalam pelukannya. Untung
dia gesit. Cepat ia menjejak tanah dan melesat ke samping. Tapi untuk kedua
kalinya orang itu sudah berada pula di depannya. Setelah empat-lima kali
mengalami kejadian yang sama, Nuraini jadi nekad. Tiba-tiba saja ia menghunus
belati dan kemudian menyerang tiga kali berturut-turut. Tentu saja sang
Dewaresi dapat menghindari dengan mudah.
"Ih
begini galak kau manis," kata sang Dewaresi sambil tertawa.
la
mengelak ke samping. Tangannya mengibas perlahan, tahu-tahu ia sudah berhasil
memeluk pinggang Nuraini yang langsing padat.
Nuraini
berontak sekuat-kuatnya, tetapi sia-sia belaka. Bahkan pelukan itu kian menjadi
kencang sampai pinggangnya terasa nyeri. Belatinya pun, akhirnya terampas pula.
Merasa
tercengkeram bahaya, ia berontak sekali lagi. Ternyata, ia malah kena peluk
kian rapat. Tubuhnya terpilin-pilin pula, dan tiba-tiba saja urat nadinya
tertekan seperti cara Titisari menguasai dirinya. Maka ia rebah terkulai tak
dapat berkutik.
Perlahan-lahan
sang Dewaresi tertawa, berkata, "Manis siapakah namamu? Jika kau berjanji
mau mengikuti aku ke mana aku pergi, kamu akan segera kumerdekakan."
Setelah
berkata demikian, sang Dewaresi memeluknya sambil meraba-raba lengan dan
lehernya. Sekaligus menggeridiklah bulu roma Nuraini. Tahulah dia, bahwa orang
itu adalah bangsa buaya darat yang berbahaya. Hatinya menjerit dan mendongkol
sampai akhirnya hampir menyita napasnya. Maklumlah, dia tak kuasa berbuat
sesuatu untuk mempertahankan diri, karena tubuhnya lemas kehilangan gerak.
Lantas saja dia pingsan tak sadarkan diri.
Waktu
menyenakkan mata, ia heran bukan kepalang. Ternyata ia berbaring di atas
rerumputan. Di belakangnya berdiri enam orang berpakaian putih memegang golok.
Sang Dewaresi berdiri tegak di depannya menghadapi seorang laki-laki yang
berwajah luar biasa. Orang itu mengurai rambut.
Kepalanya
gede, bibirnya tebal, kulitnya hitam mengkilat. Untuk girangnya teringatlah
dia. Pikirnya dalam hati, bukankah dia yang dahulu di alun-alun Pekalongan.
Mestinya dialah guru Sanjaya. Nampaknya dia begini tegang.... Ah!
la
melihat Pringgasakti lagi menghadapi sang Dewaresi dan anak-buah siap untuk
berkelahi.
Masing-masing
mempersiagakan senjata, hanya Pringgasakti seorang yang tetap bersenjatakan
kedua belah tangan belaka.
"Saudara
kamu keliru," kata sang Dewaresi.
Pringgasakti
tertawa mendongak.
"Biarpun
aku sudah tua bangka, dua mataku ini belum pernah mengkhianati aku,"
katanya. "Hm, apa buktinya?"
Kembali
lagi Pringgasakti tertawa. Sambil mengerling kepada kain bersulam yang melilit
leher Nuraini, dia berkata.
"Di
dunia ini di manakah terdapat kain leher yang mengemban pekerjaan tanganku
sendiri?"
Sang
Dewaresi menoleh ke arah Nuraini yang sudah menyenakkan mata. Ternyata gadis
itu benar-benar mengenakan kain bersulam melilit leher, la seperti tersadar
akan kesem-bronoannya. Kemudian berkata memutuskan.
"Baiklah.
Kamu menghendaki gadis ini? Itu gampang. Aku pernah mendengar kabar dan tahu
belaka, bahkan pada saat-saat tertentu kau membutuhkan darah seorang gadis
untuk menambah tenaga. Bagaimana kalau kita saling tukar-menukar."
"Hm,
apa kauhilang?" bentak Pringgasakti. "Kau berbicara seolah-olah dia
milikmu. Bagaimana kamu berani berlagak demikian terhadapku?"
Hati
Nuraini tergoncang mendengar percakapan mereka. Teringat akan pesan Sanjaya,
bahwa ia harus cepat-cepat meninggalkan di mana gurunya berada, tahulah kini
apa maksudnya.
Apakah
benar apa yang dikatakan laki-laki berbaju putih ini, pikirnya. Mendengar guru
Sanjaya tiada membantah, bulu kuduknya lantas saja berdiri tegak. Inilah
namanya, keluar dari seorang singa tercebur ke mulut buaya.
Peristiwa
selanjutnya terjadi dengan cepat. Mendadak saja sang Dewaresi telah melancarkan
suatu serangan maut. Rupanya dia memilih turun tangan dahulu daripada menunggu
serangan lawan. Maka dengan menyabetkan pedang tipisnya, dia bersuit memberi
aba-aba kepada hamba-hambanya. Hampir berbareng dengan itu, ratusan ribu tabuan
yang beterbangan di udara meniup berbareng laksana seekor naga.
Pringgasakti
mendongak ke udara, la terkejut melihat ratusan ribu tabuan berdengungan
menyerang dari udara. Cepat ia melompat mundur beberapa langkah.
Tabuan
kelingking binatang piaraan sang Dewaresi, bukanlah jenis tabuan lumrah. Binatang
itu mempunyai sengat berbahaya dan diborehi racun pula. Barangsiapa kena
sengatannya akan tewas dalam beberapa detik.
Kembali
hati Nuraini jadi berdegupan. la melihat guru Sanjaya berubah parasnya, suatu
tanda bahwa dia takut juga menghadapi serangan binatang berbisa itu. Meskipun
terhadap mereka berdua tiada pilihannya, tetapi di luar kesadarannya sendiri ia
mengharapkan guru Sanjaya menang dalam pertarungan itu. Inilah suatu gejala,
betapa hatinya telah terenggut penuh oleh Sanjaya. Sampai-sampai seluruh
kepentingannya sendiri diperuntukkan belaka untuk kekasihnya yang mengharapkan
kedatangan gurunya yang berbahaya.
Hanya
beberapa detik, Pringgasakti berdiri tegak kehilangan akal. Mendadak saja ia
melolos ikat pinggangnya yang terbuat sebesar telunjuk. Takkala dikibaskan
mendadak saja berubah menjadi cemeti yang panjang dan terus saja diputar
berdengungan di udara.
"Ih!"
kata sang Dewaresi. Pikirnya, bukankah ini cemeti pamuk pusaka sakti Adipati
Surengpati? Bagaimana iblis itu bisa memiliki? Apakah di samping kitab pusaka
sakti ia mencuri pula cemeti keramat itu?
Memang
cemeti yang dikibaskan di udara itu adalah cemeti pamuk milik Adipati
Surengpati yang disegani orang-orang sakti pada zaman itu. Cemeti pamuk
memiliki kesaktian luar biasa.
Sekali
dikibaskan ke udara, terde-ngunglah dia. Seperti baling-baling raksasa, cemeti
tersebut dapat mengumpulkan angin bergulungan. Kemudian dilontarkan merupakan
suatu tenaga dorong yang dahsyat. Itulah sebabnya pula, maka tentara udara sang
Dewaresi kena disibakkan dan banyak yang rontok di tanah.
"Hai,
iblis Pringgasakti!" seru sang Dewaresi, setelah beberapa saat terhenyak.
"Dengarkan! Sama sekali aku tidak menghendaki nyawamu! Berikan kitab
pusaka Karimun Jawa kepadaku dan kamu akan kubebaskan dan kuhadiahi pula gadis
molek ini."
Pringgasakti
tidak-mengacuhkan. Ia terus memutar cemetinya kian lama kian keras.
"Baik
kau boleh memutar cemetimu satu hari satu malam. Dua hari, tiga hari, lima hari
... ya sepuluh hari. Apa kau sanggup? Aku ingin melihat kesanggupanmu."
Pringgasakti
tetap tak menyahut. Ia seperti tak mendengarkan, namun hatinya sebenarnya mulai
gelisah. Dengan bertekun ia mulai pula mencari kesempatan untuk meloloskan diri
dari libatan ratusan ribu binatang berbisa yang menyerang terus menerus tak
mengenal berhenti. Ia sadar pula, bahwa sekali kena sengat nyawanya takkan
tertolong. Sekiranya sang Dewaresi memberi obat pemusnah baginya, kesannya
sangat hina.
Menyaksikan
kebandelan Pringgasakti, sang Dewaresi kemudian duduk di atas tanah sambil menyarungkan
pedang pusakanya. Kemudian ia mengeluarkan sepotong paha ayam seraya berkata
nyaring.
"Pringgasakti,
pikirlah semasak-masaknya sebelum nyawamu terenggut oleh ribuan tetabuanku.
Kitab pusaka Karimun Jawa, bukankah kauperoleh dari mencuri? Selama kau minggat
dari Karimun Jawa, pastilah kamu sudah berhasil meyakinkan isinya. Apa perlu
kaupeluki kitab itu? Sebuah kitab adalah benda mati. Nyawamu jauh lebih
berharga daripada benda mati. Sebaliknya, apabila kauserahkan kitab tersebut,
kau akan bertambah dengan seorang sahabat yang senantiasa bersiaga memberi
pertolongan. Bukankah suatu usul yang bagus?"
"Kalau
begitu, nah bubarkanlah barisan tabuanmu!" sahut Pringgasakti.
Sang
Dewaresi tertawa berkakakan.
"Serahkan
kitab pusakamu dahulu!"
Kitab
pusaka Adipati Surengpati yang dicuri Pringgasakti bernama Witaradya. Kitab
Witaradya, sebenarnya adalah kitab penuntun mencapai kemukswan tak beda dengan
syu-tra-syutra Weda. Hanya saja, di dalam kitab Witaradya tersembunyi mantram
rahasia sar-wasakti yang berjumlah seribu lima ratus gurindam, sekaligus akan
menjadi tokoh sakti setengah dewa. Itulah sebabnya, maka kitab itu bernama
Witaradya. Artinya, setengah dewa. Pringgasakti telah berhasil mencuri kitab
Witaradya, tetapi hanya seperempat bagian. Meskipun hanya seperempat bagian,
kesak-tiannya bertambah. Terbukti dalam usia setinggi itu, masih saja tubuhnya
gagah perkasa tak kurang suatu apa pun juga. Itulah sebabnya, ia memandang
kitab Witaradya, bagian jiwanya sendiri. Karena itu, betapa dia sudi menyerahkan
kitab tersebut dengan gampang. Maka pikirnya di dalam hati, kalau terpaksa,
biarlah kuserahkan. Tetapi begitu tangannya meraba kulit kitab, aku akan
meremas semua halamannya agar hancur bersama melesatnya nyawaku.
Memperoleh
putusan demikian, hatinya tenang. Sebaliknya Nuraini yang menyaksikan
keripuhannya menghadapi barisan tabuan, menjadi gelisah luar biasa. Tak sampai
hati ia menyaksikan guru kekasihnya runtuh di ha-dapannya. Maka diam-diam
berdoa kian gemuruh dalam hatinya.
Dalam
pada itu barisan tabuan sang Dewaresi makin lama makin pepat dan berbahaya. Mau
tak mau Pringgasakti jadi kebingungan.
Hm..
tak kukira, akhirnya aku mati demikian hina, keluhnya dalam hati. Lantas saja
berteriak keras. "Baiklah! Aku menyerah kalah. Ambillah buku ini!"
Sambil
berteriak demikian, tangan kanannya merogoh saku. Sang Dewaresi mengamat-amati.
Sang
Dewaresi sesungguhnya seorang tokoh yang cukup cerdik, licin dan berpengalaman.
Sebagai seorang yang berpengalaman, tak gampang-gampang ia menaruh kepercayaan
terhadap seseorang. Sebaliknya, Pringgasakti bukan seorang tokoh murahan. Dia
pun seorang yang kenyang makan garam.
Maka
begitu mendengar seruan sang Dewaresi cepat ia menarik tangan kanannya yang
merogoh saku, sambil berteriak nyaring. "Terimalah!"
Sebuah
benda logam berkeredip di udara dan sang Dewaresi lantas saja roboh. Nuraini
mendengar suara bersuling dan melihat pula berkeredepnya suatu benda. Seketika
itu juga, tahulah dia bahwa Pringgasakti telah melepaskan senjata rahasianya
yang beracun. Empat orang pengikut sang Dewaresi roboh pula berturut-turut
tanpa berkutik.
"Iblis!"
maki sang Dewaresi seraya bergulingan. Ternyata oleh kesehatannya, ia dapat
mengelakkan sambaran senjata rahasia Pringgasakti. Karena terperanjat, cepat ia
bergulingan di atas tanah. Begitu merasa terbebas, hatinya menjadi kecut.
Tertatih-tatih ia bangkit berdiri. Hatinya meledak menyanyikan dendam.
Dampratnya lagi, "Kau sudah kuberi kesempatan, tapi telingamu pekak!
Bagus! Hari ini, akan kubuat kau setengah hidup setengah mati."
Pringgasakti
heran menyaksikan sang Dewaresi dapat membebaskan diri dari sambaran senjata
rahasianya. Biasanya orang tak berdaya, karena sama sekali tak menduga. Maka
diam-diam ia memuji kesehatan lawan.
Dan
begitu mendengar ancamannya, mau tak mau hatinya jadi cemas.
Tak
lama kemudian, sang Dewaresi lantas bersiul panjang memberi aba-aba kepada
tentara tahuannya. Seketika itu juga, udara seperti pepat terpenuhi ribuan ekor
tabuan yang terus saja turun menyambar dengan cepat dan berbondong-bondong.
Pringgasakti kaget luar biasa. Gugup ia memutar cemeti Pamuknya. Puluhan dan
bahkan ratusan ekor tabuan runtuh di atas tanah. Tetapi tentara udara sang
Dewaresi berjumlah ribuan, puluhan ribu ya malahan ratusan ribu ekor.
Satu
jam lamanya Pringgasakti berjuang mengatasi maut yang dapat menyerang pada
saat-saat tertentu. Ratusan bahkan ribuan ekor tabuan telah dapat diruntuhkan.
Namun tentara tabuan sang Dewaresi nampak seperti tiada habisnya.
Berkelompok-kelompok mereka terus menyerang tanpa berhenti, dan sekali kena
sengatnya pastilah nyawa Pringgasakti takkan tertolong lagi.
Sang
Dewaresi sendiri, hatinya tegang luar biasa. Ia menyaksikan kegagahan
Pringgasakti. Ia menyaksikan bagaimana tentara tahuannya kena diruntuhkan
ribuan ekor. Tetapi, sama sekali ia tak dapat bertindak untuk mendesak lawan.
Cemeti Pamuk yang diputar tiada henti merupakan rintangan lingkaran bahaya.
Karena itu, terpaksalah dia menunggu dengan mempersiapkan senjata rahasianya
pula yang terbuat dari ramuan bisa ular, bisa kala dan buah ingas. Barangsiapa
kena bidikannya akan mati terjengkang dengan darah hitam menghijau.
"Jangan
mencoba bermimpi hendak meng-hancurkan kitab. Sekali kulihat tanganmu hendak
menghancurkan, terpaksa aku menghujani dengan senjata beracunku. Masa kau
terserang dari atas dan bawah, akan mampu mengelak dalam waktu satu jam?"
Pringgasakti
berlagak tak menghiraukan, tetapi hatinya cemas. Maklumlah, apa yang dikatakan
sang Dewaresi sedikitpun tidak salah. Tenaga saktinya memang luar biasa kuat.
Tetapi apabila dipaksa bertahan terus menerus tiada henti, bagaimanapun juga
takkan sanggup. Memperoleh pikiran demikian, wajahnya berubah pucat. Cepat ia
meraba saku celananya. Mendadak ia melihat, sang Dewaresi mulai mengancamkan
senjata rahasianya. Sebenarnya tiada perlu dia takut menghadapi senjata rahasia
sang Dewaresi, dalam keadaan biasa. Tapi kali ini keadaannya begini mendesak
dan terjepit. Tentara tabuan kian lama kian terasa menjadi galak. Mereka bahkan
berani menghampiri dan terbang berlingkaran berlapis-lapis.
Tepat
pada saat Pringgasakti tengah berpikir keras untuk mencari jalan keluar,
terdengarlah suatu bunyi siul panjang menukik udara. Bunyi siul itu seperti
suara burung kurcitak yang dapat melepaskan bunyi siul melengking tajam. Tak
lama kemudian suara siulan itu disusul dengan nada tiupan seruling yang halus
merdu dan mengalun berombak tiada hentinya.
Kedua
orang yang sedang mengadu keuletan itu menjadi terkejut. Sang Dewaresi
melayangkan matanya. Tiba-tiba saja di atas sebatang pohon yang berada tak jauh
dari gelanggang pertempuran nampaklah seorang yang mengenakan jubah abu-abu
duduk bercokol di atas dahan. Orang itu mengenakan topeng tipis yang buruk
bukan main. Sekali pandang orang akan mengira bertemu dengan hantu pemangsa
manusia.
Sebagai
seorang sakti ia kagum bukan main. Karena sama sekali tak mendengar
kehadirannya. Diam-diam ia menyesali pendengarannya yang selamanya
diagung-agungkan. Pringgasakti pun diam-diam terkejut pula. Meskipun dalam
keadaan sibuk, biasanya pendengarannya yang tajam masih bisa menangkap bunyi
daun yang jatuh dari ranting.
Tapi
kali ini sama sekali tidak. Dengan mengerlingkan mata, ia mengamat-amati orang
berjubah abu-abu itu selintasan. Waktu itu angin meniup tajam sampai
menggoyangkan mahkota daunan. Tetapi orang itu dapat duduk bercokol dengan
tenang dan sama sekali tak tergeser. Hal itu membuktikan, betapa hebat ilmu
ringan tubuhnya.
Sementara
itu orang berjubah abu-abu terus meniup serulingnya sambil sekali-kali bersiul
panjang melengking. Tiba-tiba saja, barisan tabuan yang terbang berlingkaran
tersibak bubar. Seperti tersapu hawa panas, barisan tabuan itu memanjat tinggi
di udara dan bubar berderai tak keruan.
Sang
Dewaresi terheran-heran. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami kejadian
seperti hari itu. Cepat ia mencoba menguasai, la bersiul panjang seperti
biasanya. Tetapi bunyi siulnya seperti tertindas dan terlindas oleh siulan
orang berjubah abu-abu. Akhirnya, bahkan dirinya merasa seperti terserang suatu
aliran hawa yang panas bukan kepalang. Ia kaget dan cepat-cepat mempertahankan
diri. Namun, ia kena tergeser oleh suatu dorongan halus tetapi kuat luar biasa.
Pringgasakti
waktu itu terus saja duduk bersila di atas tanah. Dengan sungguh ia mencoba
bertekun bersemadi. Darahnya terasa bergolak sangat cepat dan menusuk-nusuk
kepala. Karena hebatnya pengaruh siulan orang berjubah abu-abu itu, tubuhnya
sampai menggigil.
Nuraini
yang terbaring di atas rerumputan, terkena pula serangan orang bejubah abu-abu
itu. Ia mencoba bergerak dan bangun tertatih-tatih. Tetapi hawa udara seperti
menindasnya di tanah. Maka terpaksa ia me-rangkak-rangkak mencoba menjauhi.
Mendadak saja, pinggangnya terasa kena sambar. Cepat ia menoleh. Ternyata dia
sang Dewaresi yang dalam kegugupannya, terus saja melarikan diri sambil menggondol
mangsanya. Syukurlah, pengaruh orang berjubah abu-abu itu menyiutkan hatinya.
Andaikata tidak, Nuraini pasti akan menjadi korban kebiadap-annya. Karena itu,
dia hanya berani menggondol pergi selintasan saja. Khawatir ia akan dikejar
orang berjubah abu-abu, maka Nuraini dilemparkan ke tanah. Sedangkan dia
sendiri lari Iintang-pukang tak tentu arah tujuannya.
"Bagus!"
seru Titisari dengan tiba-tiba. "Memang selama hidupku tak pernah aku
percaya pada hantu. Kini ternyata benar belaka.
Apakah
kalian percaya ada hantu muncul di siang hari?"
Sangaji,
Wirapati, Bagus Kempong, Sanjaya dan pendekar-pendekar lainnya diam tak
menyahut. Masing-masing lagi terbenam dalam benaknya yang penuh dengan
teka-teki. Mendadak saja terdengar Bagus Kempong berkata kepada Wirapati,
"Adikku
Wirapati. Benar-benar hebat muridmu. Dia sanggup mengalahkan iblis itu,
sedangkan aku sendiri belum tentu bisa."
Wirapati
sesungguhnya heran dan kagum kepada kemajuan Sangaji. Tahulah dia, bahwa
muridnya menggunakan ilmu sakti bukan berasal dari perguruannya atau ajaran
Jaga Saradenta. Maka sebagai orang jujur dia lantas saja berkata,
"Janganlah Kakak memuji terlalu tinggi terhadapku. Sebagai guru betapa
takkan girang menyaksikan kemajuan salah seorang muridnya. Hanya saja apabila
mengira, bahwa kemajuannya adalah hasil ajaranku benar-benar salah. Aku sendiri
kagum kepadanya."
Mendengar
percakapan gurunya dengan Bagus Kempong, hati Sangaji tak tenteram. Meskipun
gurunya tiada mencelanya, tetapi ia merasa bersalah menerima ajaran seseorang.
Hal itu berarti bahwa ia mengangkat seseorang guru lain di luar pengetahuan
gurunya. Memperoleh pertimbangan demikian, cepat ia men-bungkuk hormat kepada
Wirapati.
"Guru!
Sesungguhnya..." Tetapi baru mengucap demikian, mendadak saja Pringgasakti
sudah berada di depannya kembali dengan bertolak pinggang.
"Hai
bocah! Kau benar-benar sudah dapat memahami ilmu Kumayan Jati ajaran si jem-bel
Gagak Seta. Bagus! Otakku tumpul, sampai aku tadi tak mengenal ilmu saktimu. Hm
...
sekarang
janganlah kau mengira, bahwa aku takkan sanggup melawan ilmumu.
Ingat-ingat-lah, bahwa aku murid Adipati Surengpati. Murid Adipati Surengpati
betapa takkan mampu melawan murid Gagak Seta. Cuh! Hayo kita bertempur
kembali... Ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu sakti Kumayan
Jati," damprat Pringgasakti.
Sangaji
seorang pemuda yang sabar dan jujur. Mendengar tantangan Pringgasakti, ia
membungkuk hormat sambil menyahut.
"Sebenarnya,
aku bukan tandinganmu. Aku hanya dapat melawan kegagahanmu secara kebetulan
belaka. Apabila kali ini engkau telah sadar akan kelalaianmu, pastilah aku
bukanlah lawanmu lagi. Karena itu, mestinya aku harus menyatakan takluk
kepadamu..."
"Ilmu
sakti Kumayan Jati terbagi menjadi dua. Pukulan keras dan pukulan lembek.
Semuanya berjumlah delapan belas jurus. Kemudian ditambah pula enam pukulan
guntur. Kulihat, engkau belum menggunakan seluruhnya."
Pringgasakti
tak menghiraukan.
"Ocapanmu
benar belaka," sahut Sangaji, "Memang belum seluruhnya aku
menggunakan semua pukulan ilmu sakti Kumayan Jati."
"Mengapa?"
Mendengar penegasan
Pringgasakti, cepat-cepat Titisari
mencegah agar merahasiakannya.
Tetapi
Sangaji yang jujur mendadak saja menjawab, "Sebab, aku belum menerima
warisan ilmu
Kumayan
Jati dengan seluruhnya."
"Bagus!"
sahut Pringgasakti dengan gembira. Kedua kelopak matanya lantas saja bersinar
terang. "Belum lagi engkau menerima ajaran ilmu sakti Gagak Seta, ternyata
kau telah dapat menjatuhkan aku. Hm, apakah Gagak Seta benar-benar seorang
mahasakti tak terlawan? Ah, terpaksalah aku menguji dirimu anak muda."
Mereka
yang mendengar bunyi ucapan Pringgasakti jadi heran dan cemas. Ternyata alasan
pertempuran tidak hanya berkisar soal mempertahankan harga diri dan pembalasan
dendam tetapi mendadak saja menyangkut pula tentang adu ilmu sakti. Di sini
terasa terjadinya bibit bentrokan antara Adipati Surengpati dan Gagak Seta.
Sangaji
masih saja berlaku sabar. Katanya mengalah, "Titisari, kawanku ini yang
masih begini muda tak dapat aku lawan. Apalagi melawan engkau. Ilmu Adipati Surengpati
adalah salah satu ilmu di dunia ini, yang kukagumi dengan segenap
hatiku..."
"Eh
Abu!" Titisari menyambung, "Apakah maksudmu menantang kawanku dengan
mengadu ilmu Karimun Jawa? Masakan ada seorang di kolong langit ini yang mampu
melebihi ayahku?"
"Ehem
agar hatiku yakin, apa buruknya aku menguji kawanmu...." Pringgasakti
tetap bersikap
tegang.
Dengan tiba-tiba pula, kakinya terus menjejak dan menyerang cepat. Sangaji
mengelak ke samping. Dan pudarlah benteng kesabarannya. Dengan mata berapi-api
meledaklah suaranya,
"Aku
sudah berusaha menghormati tataran angkatan tua. Tapi engkau tetap membandel.
Bahkan menyerang aku dengan tiba-tiba. Silakan!" Habis berkata demikian,
tinjunya lantas saja menyerang. Dan terdengarlah derum angin bergulungan. Pringgasakti
melompat ke samping dan menyambut serangan Sangaji dengan cengkeramannya.
"Pukullah
aku dengan jurusmu yang tanpa suara," seru Pringgasakti. "Dengan
menggunakan pukulanmu yang bersuara, kau bukan tandinganku."
Mendengar
ucapan Pringgasakti, Sangaji melompat mundur sambil berkata, "Pukulanku
tanpa bersuara berjudul pukulan iblis. Dalam keadaan biasa, aku dilarang
melepaskan. Karena hal itu bertentangan dengan pengucapan darah seorang
ksatria. Andaikata pada suatu hari aku melihat seseorang menggunakan pukulan
demikian terhadap seseorang yang belum patut dimusnahkan, akan kuku-tuki dan
kubenci sampai tujuh turunan. Karena itu, betapa aku sudi menggunakan jurus itu
terhadapmu? Kalau tadi aku melontarkan pukulan demikian, bukanlah dengan
sengaja. Tapi semata-mata untuk mengusir hawa racunmu yang mulai merayapi
tubuh. Jadi aku berdaya mempertahankan diri terhadap racun dan bukan
terhadapmu. Dengan demikian, adalah benar-benar hina apabila kau memaksa dirimu
agar bertempur melawan pukulan iblisku. Aku emoh."
Suara
Sangaji meskipun menggelikan dalam pendengaran para pendekar, tetapi berkesan
sungguh-sungguh. Sehingga mau tak mau hati nurani Pringgasakti tergerak juga.
Ih!
anak muda ini berhati mulia, pikirnya. Tetapi ia membentak, "Aku minta
kepadamu, agar engkau menggunakan pukulan iblismu. Jadi bukan kesalahanmu
apabila engkau terpaksa menggunakan. Dan tenang-tenangkan-lah hatimu, karena
aku mempunyai cara untuk memecahkan. Apa perlu kamu berpura-pura berbicara
kemanusiaan terhadap aku iblis tua bangka?"
Sangaji
mengerling kepada seseorang berjubah abu-abu yang menggunakan topeng mayat.
Pikirnya, mungkin dia telah mengajarkan ilmu memecahkan pukulan sakti Paman
Gagak Seta. Jika mampu siapakah dia?
Sangaji
diam-diam menimbang-nimbang, la melihat Pringgasakti terus mendesak. Karena itu
mau tak mau ia terpaksa berkata memutuskan, "Baiklah! Aku akan mencoba
melayani kehendakmu."
Sangaji
lantas saja mengingat-ingat semua jurus ilmu sakti Kumayan Jati dan pukulan
rahasia hasil penemuannya dengan tiba-tiba tadi. Diam-diam ia menyalurkan tata
napas Baju Sejati dan Kumayan Jati. Ternyata dia tak menemukan suatu kesulitan,
meskipun belum terlalu lancar. Tetapi andaikata Pringgasakti mendadak bisa
bergerak di luar dugaan, rasanya dia masih mampu untuk mempertahankan diri.
Memperoleh pikiran demikian, majulah dia memasuki gelanggang per-tempuran.
Mendadak saja ia mendengar angin berdesir lewat di sampingnya, la kaget. Cepat
ia menoleh dan menarik tinjunya ke dada. Kemudian merubahnya dengan suatu jurus
lain. Tetapi kembali ia mendengar suara srr... lewat di sampingnya. Ia kaget
bercampur heran. Karena begitu tinjunya hendak dikembangkan, Pringgasakti sudah
dapat menebak dengan cepat dan tepat. Tahu-tahu ia kena suatu tangkisan hebat
yang segera dapat mementalkan tinjunya.
Dengan
hati penuh dengan teka-teki, ia berkisar dari tempatnya dan mempersiapkan
gempuran lembek yang tadi dapat meruntuhkan. Dan kembali ia mendengar suara
berdesir.
Tatkala
tinjunya dilontarkan, Pringgasakti dapat menangkis cepat, bahkan bisa pula
mendahului menyerang. Dan untuk kedua kalinya, serangan Sangaji luput. Malahan
lengan bajunya sobek selintasan.
Aneh!
Dia tahu menebak jurus pukulan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati, sudahlah aneh.
Sekarang malahan dapat mendahului pukulan pula, pikir Sangaji dalam hati. la
masih belum percaya. Ia mengira, itulah suatu kejadian secara kebetulan. Maka
dengan sebat ia mengirimkan tiga pukulan lembek dari jurus tahap kedua. Inilah
pukulan lembek yang paling membahayakan. Selama dia mewarisi ilmu sakti Kumayan
Jati, baru pada saat itulah ia menggunakan.
Pringgasakti
nampak gugup, la merasa seperti terdesak dan terhimpit suatu tenaga angin
Tetapi tak dapat menebak dari mana arah datangnya. Mendadak saja ia mendengar
suara...
srrr-srrr...
tiga kali berturut-turut. Mendengar suara angin itu, cepat ia mencengkeramkan
dan merabu maju.
Pengalaman
adalah mahaguru, kata pepatah. Maka lambat-laun Sangaji jadi cerdik juga. Tak
ragu-ragu lagi, ia menduga kepada orang berjubah abu-abu. Untuk meyakinkan
dirinya segera ia melepaskan pukulan lembek tahap kedua jurus ke-empat, sambil
mengerlingkan mata. Sekarang ia melihat orang berjubah abu-abu itu menyentil
sebutir kerikil yang cepat melesat ke udara. Suaranya terdengar pula berdesir.
Ah,
pantas iblis itu bisa mengelakkan pukulan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati.
Tetapi siapakah orang berjubah abu-abu itu yang bisa memberi petunjuk-petunjuk?
Kenapa dia paham pula akan rahasia ilmu sakti Kumayan Jati yang tiada duanya
dalam dunia ini? la terus bergulat dalam benaknya. Akhirnya memutuskan,
"Baiklah! Setelah aku menghabiskan kesembilan jurus tahap kedua yang
lembek, aku akan menyatakan takluk ... Masakan dia akan memaksa aku melakukan
jurus yang keras?"
Pertempuran
terus berlangsung dengan bertambah seru. Sangaji selalu menjadi pihak
penyerang. Suatu tanda, bahwa Pringgasakti sebenarnya tiada paham dengan ilmu
sakti Kumayan Jati. Hanya saja, suara berdesirnya kerikil yang melesat ke udara
kian nyata. Bahkan kini, mau tak mau orang berjubah abu-abu terpaksa dengan
terang-terangan membantu Pringgasakti.
Pringgasakti
lantas saja bisa merubah diri menjadi pihak penyerang oleh petunjuk-petunjuk
orang berjubah abu-abu. Dia kini jadi galak dan ganas. Angin serangan
bergulungan hebat dan tiap kali gerak didahului dengan suara desirnya kerikil.
Mereka yang berdiri di pinggir gelanggang, kini dapat menyaksikan dengan
terang-terangan bagaimana Pringgasakti dibantu oleh orang berjubah abu-abu itu.
Dua kali Pringgasakti kena terdesak ke pojok. Tetapi selalu dapat membebaskan
diri, malahan bisa membalas menyerang tiga kali bemntun-runtun.
Titisari
yang berotak cerdik, jadi berpikir keras. Ia mulai mencari akal. Diam-diam ia
memungut beberapa butir kerikil. Kemudian meniru perbuatan orang berjubah
abu-abu dengan menyentilkan kerikil itu ke arah Pringgasakti untuk mengacaukan
pemusatan pikirannya. Kadang-kadang ia menyerang ke tempat kosong, ke udara
bebas atau ke tanah. Bahkan berani pula menyerang kerikil orang berjubah
abu-abu itu. Tetapi orang berjubah abu-abu itu benar-benar mengagumkan. Apabila
kerikilnya terpukul, justru bisa mendengungkan suara lebih tajam dan arah-nya
lantas saja bisa bergeser tempat. Kalau tadi dimaksudkan sebagai penunjuk
pertahanan diri, kini oleh pantulan kerikil Titisari berubah menjadi petunjuk
dan menyerang.
Bagus
Kempong, Wirapati, Abdulrasim, Cocak Hijau, Manyarsewu, Sawungrana, Yuyu
Rumpung dan Sanjaya semua terheran-heran menyaksikan kehebatan ilmu menyentil
orang berjubah abu-abu itu. Panah atau peluru pistol, tidaklah sehebat
sentilannya. Barangsiapa kena tersentil, pasti takkan berkesempatan melepaskan
sepatah katapun jua.
Titisari
berdiri tertegun, la sampai ter-cengang-cengang karena heran bukan kepalang.
Tanpa berkedip ia mengamat-amati orang berjubah abu-abu yang mengenakan topeng
setan.
Dalam
pada itu, keadaan Sangaji kena terdesak Pringgasakti yang dapat bergerak dengan
sebat oleh petunjuk sentilan kerikil tajam. Iblis itu tinggal mengikuti arah
segi lintang desiran kerikil. Maka serangannya kian lama kian berbahaya.
Tiba-tiba
terdengarlah suatu suara nyaring. Dan nampaklah dua butir kerikil saling
berbenturan di udara. Kerikil yang pertama melesat agak kendor. Yang kedua
pesat dan menyekat keblat. Tak urung kedua butir itu berbenturan dan meletikkan
sinar api. Justru pada waktu itu Pringgasakti melompat menubruk dengan
menggeram, sedangkan Sangaji cepat-cepat meloncat ke samping.
Kemudian
terdengar suara Titisari memekik tinggi.
"Ayah!"
Gadis itu lantas saja lari ke arah orang berjubah abu-abu dan terus memeluknya,
la menangis keras sambil berkata menyesali, "Ayah! Kenapa Ayah mengenakan
topeng begini buruk?"
Peristiwa
itu di luar dugaan, orang berjubah abu-abu itu sampai dia berdiri tertegun.
Dengan sendirinya keadaan di gelanggang pertempuran jadi berubah. Pringgasakti
yang sudah merangsak menubruk dengan menggerung mendadak saja berhenti di
tengah jalan, karena kehilangan petunjuk. Inilah suatu kesempatan yang bagus
bagi Sangaji. Segera ia melepaskan serangan lembek jurus kesembilan. Tanpa
petunjuk orang berjubah abu-abu, Pringgasakti kehilangan daya-geraknya bagaikan
seseorang yang kehilangan kedua belah matanya. Maka tak ampun lagi ia kena
terpukul jurus kesembilan ilmu sakti Kumayan Jati dan jatuh terkapar di atas
tanah. Seluruh tenaganya seperti terkikis, sehingga iblis yang terkenal sakti
itu tak mampu berdiri tegak lagi.
Abdulrasim
yang sudah memperoleh kisikan sang Dewaresi tentang siapakah Titisari
sebe-narnya, kaget sewaktu gadis itu memanggil orang berjubah abu-abu sebagai
ayahnya. Karena kagetnya kakinya sampai gemetaran. Betapa tidak? la kenal
siapakah Ayah Titisari. la kenal pula siapakah Adipati Surengpati. Selain
terkenal bengis dan kejam, ia seorang mahasakti setengah dewa.
"Ayah
kenapa Ayah datang ke mari?" tegur Titisari.
"Kenapa
aku datang ke mari? Bukankah karena engkau aku sampai keluyuran ke mari?"
Titisari
girang bukan kepalang. Ia tahu dan semua orang tahu bahwa Adipati Surengpati
adalah seorang tokoh mahasakti yang angkuh. Dahulu pernah bersumpah takkan
mendarat di Pulau Jawa. Dan sumpahnya ditepati, meskipun oleh sumpah itu
membuat dia tak bisa mengejar Pringgasakti. Apa sebab dia bersumpah tak sudi
mendarat di pulau Jawa, adalah gara-gara keputusan Mangkubumi 1 yang
mengesyahkan Pangeran Samber Nyawa menjadi Mangkunegoro 1 di Surakarta. Dia
sendiri sebenarnya berangan-angan besar untuk menjadi salah seorang raja di
Pulau Jawa. Karena ternyata angan-angannya tak tercapai, maka minggatlah dia
dari Yogyakarta dan bermukim ke sebuah pulau di seberang utara Pulau Jawa. Di
pulau itu ia mendirikan semacam kerajaan kecil, dan dialah yang menjadi
rajanya.
"Ayah,
maksud Ayah hendak mencari aku ternyata sudah tercapai. Bagus! Bagus!"
kata Titisari manja.
"Hm...
karena engkaulah aku terpaksa men-genakan topeng buruk ini."
Titisari
jadi terharu. Tahulah dia, bahwa untuknya ayahnya bersedia mengorbankan
segalanya. Ternyata nilainya jauh lebih tinggi daripada kitab pusaka Witaradya
yang dipan-dangnya sebagai jiwanya sendiri. Tatkala dahulu ia kehilangan kitab
pusaka Witaradya, tak sudi dia menyeberangi lautan. Karena mendongkol dan murka
ia melampiaskan dendamnya kepada hamba-sahaja yang setia. Semuanya diputuskan
urat dan tulang-belulangnya, sehingga menjadi orang-orang lumpuh. Tetapi begitu
melihat anak daranya melarikan diri dari Pulau Karimun Jawa, ia batalkan
sumpahnya dan terus mengejar sampai bertemu pada hari itu. Sekalipun
mendongkol, Adipati Surengpati bersyukur menyaksikan anak-daranya tiada kurang
suatu apa.
"Ayah!"
bisik Titisari lagi yang tahu membaca gejolak hati ayahnya. "Mulai
sekarang, aku berjanji akan menjadi seorang anak yang baik dan penurut. Aku
akan selalu mendengarkan
semua
perkataanmu."
Mendengar
janji Titisari, Adipati Surengpati terus memeluk anaknya.
"Pimpinlah
bangun murid Ayah, si Abu Pringgasakti," ia berkata kepada Titisari.
Titisari
segera menghampiri Pringgasakti dan menolong menegakkan.
Bagus
Kempong, Wirapati dan pendekar-pendekar lainnya segera membungkuk memberi
hormat kepada Adipati Surengpati. Terdengar Adipati Surengpati menghela napas
dalam. Berkata setengah menyesali.
"Abu!
Karena kamu, aku banyak menyiksa orang-orang tak berdosa. Karena engkau, aku
kehilangan sebagian kitab pusaka keluargaku. Sehingga isteriku meninggal oleh
duka cita."
Mendengar
ucapan Adipati Surengpati, Pringgasakti menggigil ketakutan. Tapi begitu
mendengar berita meninggalnya isteri Adipati Surengpati, mendadak saja dia
menangis menggerung-gerung.
"Mengapa
menangis?" bentak Adipati Surengpati bengis
Peringgasakti
kenal baik tabiat gurunya yang benci kepada bunyi tangis. Maka seketika itu
juga, ia berhenti menangis. Sebaliknya Titisari nampak menjadi manja. Terus
saja gadis itu menghampiri ayahnya sambil berkata, "Ayah! Nampaknya Ayah
mendongkol benar kepada Pringgasakti. Apakah Ayah mendongkol pula
terhadapku?"
"Kau
pun termasuk salah satu anasir membu-yarkan ketenteraman hatiku. Hm!"
Adipati Su-rengpati menghela napas. Dan Titisari mundur setengah langkah sambil
melilitkan lidahnya.
"Ayah!
Mari kuperkenalkan dengan beberapa sahabatku," katanya mengalihkan
pembicaraan. "Inilah Paman Bagus Kempong dan Paman Wirapati, murid Kyai
Kasan Kesambi yang tersohor di seluruh jagat."
"Hm,"
dengus Adipati Surengpati.
"Dan
ini sahabatku, Sangaji." Titisari tak peduli. Tapi Adipati Surengpati
bersikap dingin dan membeku. Ia melemparkan pandang ke sana. Melihat sikapnya,
Bagus Kempong dan Wirapati mendongkol hatinya. Mereka merasa seperti
direndahkan. Diam-diam mereka membenarkan warta tentang watak dan perangai
Adipati Surengpati yang aneh, kejam, bengis dan tak tahu aturan. Apabila dia
menjadi guru seorang iblis seperti Pringgasakti, sudahlah selayaknya.
Waktu
itu Adipati Surengpati menatap muka Titisari sambil berkata memerintah,
"Kau mempunyai benda milik apalagi? Ambillah! Dan ayo berangkat
pulang!"
"Apa
yang kupunyai?" Titisari tertawa geli. "Tiada yang kumiliki kecuali
diriku sendiri. Apakah Ayah hendak membawa Abu pulang pula ke Karimun
Jawa?"
Dengan
mata berkilatan, Adipati Surengpati mengawasi Pringgasakti. Mendadak saja,
Sanjaya yang selama itu berdiam saja datang menghampiri. Memang pemuda itu
adalah seorang anak yang licin dan pandai mengambil hati. Begitu ia melihat
betapa gurunya-Pringgasakti ketakutan setengah mati terhadap Adipati Surengpati
secara tak resmi menjadi kakek gurunya?
"Cucu-murid
Sanjaya perkenankan meng-haturkan sembah," katanya takzim.
Adipati
Surengpati menoleh kepada Pringgasakti dengan meninggikan alisnya. Menegas,
"Dia cucu muridku? Semenjak kapan dia menjadi muridmu? Dan kapan pula kamu
berhak mengambil murid untuk menurunkan Ilmu Karimun Jawa tanpa
sepengetahuanku?"
Gugup
Pringgasakti hendak menjawab. Tetapi belum lagi mulutnya terbuka, Adipati telah
menyambar lengan Sanjaya. Kemudian dilemparkan tinggi di udara. Begitu ia
menangkap dengan tangan kiri, lantas saja tangan kanannya menghantam pundaknya.
Pringgasakti
kaget bukan kepalang sampai dia memekik, "Guru!"
Hajaran
Adipati Surengpati membuat Sanjaya jatuh berjungkir-balik di udara dan runtuh
di atas tanah tanpa tenaga.
"Hm!"
dengus Adipati Surengpati. "Bagaimana kamu berani mewariskan Ilmu Karimun
Jawa kepadanya? Karena itu, hari ini kurenggut semua tenaganya. Selanjutnya,
dia takkan dapat lagi berlatih ilmu Karimun Jawa. Mengerti?"
Pringgasakti
mengangguk dengan mulut ter-bungkam. Sama sekali ia tak berdaya menghadapi
gurunya yang bengis dan sakti. Tetapi masih dia mencoba, "Guru! Gntuk
menghimpun tenaga jasmaniah, seseorang membutuhkan waktu paling tidak empat
tahun lamanya. Apa sebab guru lantas saja melenyapkan begitu saja? Apakah tidak
me-nyayangkan bakat seorang muda sebagai tunas mekar di kemudian hari?"
"Kau
tak perlu mengoceh seperti burung. Sedang nyawamu sendiri belum pasti selamat,
mengapa kau berpura-pura menjadi pahlawan?"
Pringgasakti
terkenal sebagai iblis kejam dan bengis. Puluhan bahkan ratusan orang sudah
menjadi korban kebiadapannya.
Tanpa
berkedip ia merenggut nyawa seseorang dengan begitu saja. Tetapi meskipun
demikian, dalam hati nuraninya mengalirlah sebintik jiwa ksatria juga. Terbukti
dengan peristiwa kali itu. Ternyata ia kasihan kepada Sanjaya sebagai guru dan
murid. Maka begitu melihat muridnya tersiksa, lantas saja ia memberanikan diri
untuk menuntut keadilan.
Nyawanya
sendiri tak dihiraukan lagi. Berkata dengan suara bergetar, "Guru! Selama
aku meninggalkan Karimun Jawa, tiada hasratku hendak mencari murid atau
menurunkan warisan ilmu sakti Karimun Jawa tanpa sepengetahuan guru. Tetapi
terhadap anak itu, mendadak saja hatiku tergerak. Karena pertama-tama, ia
adalah seorang pemuda yang berbakat. Kedua, ia putera seorang pangeran yang
pantas memiliki sepercik ilmu sakti guru. Dan ketiga, kuharapkan kelak bisa
menjadi ahli waris kesaktian guru. Karena itu, alangkah pedih rasa hatiku
melihat guru memusnahkan tenaga saktinya. Dengan demikian, ia akan menjadi
seorang pemuda yang hina-dina. Menjadi seorang pemuda cacat jasmaniah selama
hidupnya."
"Andaikata
benar begitu, apa peduliku?" potong Adipati Surengpati tanpa perasaan.
Mendengar
ucapan Adipati Surengpati, tak terasa sekalian para pendekar menoleh kepada
Sanjaya.
Pemuda itu
benar-benar tertumbuk batu. Tadinya
dia mengira akan
mudah mengambil hati
Adipati Surengpati. Tak tahunya, Adipati Surengpati bukanlah seperti manusia lumrah.
Wataknya
aneh. Tabiatnya susah ditebak.
Karena
itu ia terkenal sebagai si iblis dari Karimun Jawa. Sekarang, tenaga saktinya
terpunah sudah oleh hajaran Adipati Surengpati. Tak mengherankan, bahwa
wajahnya sekaligus menjadi kuyu. Tenaga jasmaniahnya lumpuh. Dengan pandang
suram ia menyiratkan pandang kepada sekalian yang hadir seolah-olah minta
bantuan. Tetapi bagaimana mereka berani berkutik di depan Adipati Surengpati
yang terkenal sebagai seorang mahasakti setengah dewa?
"Hai,
siapa namamu anak muda?" mendadak saja Adipati Surengpati berkata kepada
Sanjaya.
Sanjaya
hendak menjawab, tetapi Pringgasakti mendahului, "Dia bernama Sanjaya,
pu-tera Pangeran Bumi Gede."
"Ih!
Siapa kesudian berbicara dengan hamba Belanda?" Adipati Surengpati meludah
ke tanah. "Untunglah, aku tidak memusnahkan seluruh tenaga jasmaninya. Aku
hanya mengambil milikku belaka, agar dia tak bisa menekuni ilmu sakti Karimun
Jawa. Berbahagialah!"
Mendengar
ujar Adipati Surengpati, Pringgasakti girang bukan kepalang sampai air matanya
bercucuran.
Tatkala
itu Titisari menoleh kepada Sangaji sambil berkata, "Aji! Hebat tidak
ayahku? Dilihat sepintas lalu, pakarti ayahku adalah kejam. Siapa mengira,
kalau Ayah hanya mengambil haknya kembali sebagai hukuman terhadap seorang
pengkhianat yang berani mencuri
wewenang
seseorang. Inilah namanya maling kepergok di siang hari bolong."
"Ayahmu
hebat sekali, Titisari," sahut Sangaji dengan jujur. "Kalau kau nanti
sudah pulang kembali ke kampung halaman, janganlah kau mensia-siakan ajaran
ayahmu. Pasti kamu kelak akan menjadi pendekar sakti tak terlawan."
"Kau
ikut juga kan ke Karimun Jawa?" sahut Titisari cepat. Mukanya berubah,
suatu tanda hatinya cemas.
"Aku
hendak mengikuti guru mendaki Gunung Damar. Kelak aku akan menjengukmu."
Titisari
jadi gelisah seperti cacing tercebur di atas penggorengan. Katanya setengah
menjerit, "Tidak! Tidak! Tak mau aku berpisah denganmu."
Sangaji
menarik napas. Sebenarnya, dia pun agak berkeberatan berpisah dengan Titisari,
Sewaktu hendak menyatakan isi hatinya, men-dadak saja ia melihat Adipati
Surengpati berkelebat menyambar Sanjaya. Anak muda itu dilemparkan ke udara dan
ditendang jungkir-balik. Tak ampun lagi. Sanjaya menggelinding di atas tanah.
Tetapi yang aneh adalah sikap Pringgasakti. Begitu melihat muridnya jatuh
bergulingan, dia bahkan berjingkrak sambil berteriak nyaring.
"Sanjaya!
Lekaslah engkau menghaturkan sembah kepada Kakek-guru. Beliau telah menghadiahi
semacam tenaga sakti kepadamu."
Dengan
tertatih-tatih, Sanjaya merayap bangun. Mula-mula matanya berkunang-kunang.
Sekonyong-konyong dalam tubuhnya terasa mengalir semacam hawa hangat. Lantas
saja ia merasa segar-bugar. Oleh teriakan Pringgasakti tahulah dia bahwa
Adipati Surengpati sedang menganugrahi semacam ilmu sakti dengan diam-diam.
Cepat ia maju dan hendak menghaturkan sembah. Tetapi Adipati Surengpati
membentak, "Sudah kukatakan tadi, bahwa aku telah memusnahkan semua tenaga
sakti ilmu Karimun Jawa. Kalau saja kini kamu merasa memperoleh tenaga baru,
sebenarnya adalah untuk bekal menekuni ilmu tata-berkelahi lumrah. Sebaliknya
untuk menekuni ilmu sakti janganlah mengharap yang bukan-bukan." Baik
Pringgasakti maupun Sanjaya kecewa mendengar keterangan Adipati Surengpati,
tetapi mereka tak dapat berbuat lain, kecuali hanya membungkam mulut.
"Abu!"
Tiba-tiba suara Adipati Surengpati berubah menjadi garang. Sebenarnya engkau
manusia terlalu jahat. Tetapi aku tahu, kau telah menderita batin pula. Tadi
kulihat, sewaktu kau terdesak oleh anak muda itu, teringatlah kamu pada nama
perguruanmu. Sehingga dengan berbekal petunjukku, kamu berani melabrak anak
muda itu demi mempertahankan nama perguruan. Bagus! Karena jasamu itu, aku akan
membiarkan engkau hidup untuk beberapa bulan."
Mendengar
ujar gurunya, hati Pringgasakti terperanjat bercampur heran. Tak pernah
diduganya, bahwa gurunya akan mengampuni kesalahannya dengan mudah, mengingat
pegawai-pegawainya disiksa sepanjang hidupnya tanpa berdosa karena perbuatannya
semata. Itulah sebabnya oleh rasa syukur, ia duduk bersimpuh untuk menyatakan
terima-kasih tak terhingga.
"Bagus!"
Adipati Surengpati menyahut sembah muridnya. Kemudian menepuk pundak
Pringgasakti sambil berkata, "Kau murid mengenal budi."
Pringgasakti terkejut.
Pundaknya tiba-tiba terasa
menjadi nyeri. Matanya
berkunang-kunang
dan
dunia seolah-olah berputar di depannya. Tahulah dia, bahwa gurunya sedang
menjatuhkan suatu siksaan yang mengerikan. Siksaan itu bernama, Tepukan Cakrabirawa.
Barangsiapa kena tepukan tersebut, seluruh tubuhnya akan terasa seperti
ditusuki ribuan jarum. Makin dia bergerak, makin sakit. Setelah lewat satu
bulan, tenaganya mulai sunat. Grat-uratnya mulai lemah dan darahnya mulai
membeku. Apabila sudah berkembang demikian, tiada seorang pun di kolong langit
ini yang mampu mengobati, meskipun dewa sendiri tidak. Teringat akan siksaan
itu, air mata Pringgasakti mengalir deras. Dengan tersekat-sekat ia berkata,
"Guru,
muridmu memang berdosa tak teram-punkan. Pantaslah guru menghukum aku mati.
Karena aku dahulu terbelenggu oleh nafsu ingin menjadi seorang pendekar
tersakti di dunia ini, sampai aku mencuri sebagian kitab pusaka guru. Sama
sekali tidak terduga, bahwa oleh perbuatan itu, ibu Titisari wafat karena
berduka. Tetapi, perkenankanlah aku memohon hukuman mati yang lain. Bebaskan
aku dari siksaan Tepukan Cakrabirawa."
Adipati
Surengpati tidak tergerak hatinya. Dengan wajah membeku dan menatap muridnya.
Mulutnya menyungging suatu senyum yang sukar untuk terbaca. Karena itu,
Pringgasakti jadi putus asa. Cepat luar biasa ia mencabut cemeti pamuk dan
segera hendak menghajar tubuhnya sendiri sehingga mampus dengan seketika itu
juga. Tetapi Adipati Surengpati bukanlah seseorang yang mudah dikelabui. Belum lagi
Pringgasakti bisa bergerak, tahu-tahu cemeti pamuk telah berpindah ke tangan
pemiliknya semula.
"Eh,
mengapa kamu ingin cepat-cepat mati di hadapan gurumu?" tegur Adipati
Surengpati tak berperasaan. "Mati di hadapanku bukankah tidak mudah?"
Mendengar
ujar gurunya, tahulah Pringgasakti bahwa gurunya akan menurunkan siksaan lain
yang jauh lebih mengerikan. Kemudian ia mengerling kepada Sangaji dan kemudian
berkata, "Terimalah rasa terima-kasihku atas jasamu membunuh adikku.
Andaikata dia masih hidup, pastilah matinya hari ini akan tersiksa seperti
aku."
Adipati
Surengpati tak memedulikan ujar muridnya. Dengan suara dingin dia berkata,
"Tepukan Cakrabirawa ini akan bekerja setelah lewat satu tahun. Dalam satu
tahun ini engkau akan kuberi tugas menyelesaikan pekerjaan suci. Setelah
selesai, kau boleh datang ke
Karimun
Jawa. Aku akan membebaskan siksaan ini dari tubuhmu."
Girang
hati Pringgasakti mendengar ujar gurunya. Dengan terharu ia bersembah lagi
seraya berkata takzim.
"Katakanlah,
tugas apa yang harus kulakukan? Meskipun harus menyeberang lautan api dan
telaga golok tajam, takkan muridmu mundur selangkah pun juga.
Bersabdalah!"
Adipati
Surengpati tersenyum. Berkata, "Eh, kamu seolah-olah mampu melakukan
tugasmu yang belum lagi kuterangkan. Tahukah kau tugas apa yang akan kaupikul,
sampai begini gagah lantas saja bisa menerima?"
Hati
Pringgasakti kecut. Tak berani ia men-jawab. Kepalanya hanya menunduk lebih
dalam.
Melihat
muridnya tak berani berkutik, berkatalah Adipati Surengpati.
"Dengarkan!
Yang pertama, bagian Wirata-dya yang kau curi, harus kaukembalikan
se-lengkap-lengkapnya. Dan ingatlah siapa pula yang pernah melihat atau membaca
isinya, harus kau bunuh. Dua orang pernah melihat, dua orang itu pulalah yang
harus kamu bunuh. Gmpama kata seratus orang pernah membaca, bunuh pulalah
seratus orang itu. Kemudian kedua matamu yang pernah menekuninya, harus kau
cungkil dari kelopaknya. Dengan demikian, kedua matamu yang biadab itu telah
memperoleh hukumannya yang adil. Sebaliknya, apabila engkau melalaikan salah
seorang saja, janganlah engkau berharap bisa kembali kepadaku. Aku akan
mencarimu dan akan menghukumu dengan suatu hukuman yang setimpal. Tidak hanya
hukuman Tepukan Cak-rabirawa saja yang akan menyiksamu, tetapi aku masih
mempunyai cara lain yang belum pernah kau dengar, yakni Tepukan Lebur-saketi.
Sekali kau kena kuraba, maka kamu tak merasa beranggota tubuhmu. Dengan begitu
kamu akan mati penasaran. Karena orang mengira, kau mati bunuh diri karena
terganggunya kewarasan otakmu. Bukankah mati demikian jauh lebih
mengenaskan?"
Mereka
yang mendengar ujar Adipati Surengpati, bergidik seluruh bulu romanya. Pikir
mereka, benar-benar dia merupakan iblis samudra Karimun Jawa. Pantas orang
gagah tak senang dengan sepak-terjangnya yang sesat dan bengis.
"Sekarang
yang kedua!" kata Adipati Surengpati lagi, "Karena pengkhianatanmu,
ibu Titisari meninggal dunia oleh duka-cita. Bagian kitab pusaka Witaradya yang
tiga bagian, dibawanya
hilang
ke liang kubur.
Entah
dibuang ke mana. Hanya setan dan iblis yang tahu. Karena itu, menjadi
kewajibanmu pula untuk mencari sampai ketemu. Kau-sanggup?"
Pringgasakti
mengangguk, meskipun dalam hatinya ia mengeluh. Sebaliknya Titisari berpikir,
Ibu wafat semenjak aku masih kanak-kanak. Selama itu Ayah tak pernah membicarakan
perkara bagian kitab pusaka Witara-dya yang hilang.
"Ini
suatu tanda, bahwa Ayah tak berdaya untuk menemukan kembali. Hal itu berarti,
angan-angannya untuk menjadi seorang pendekar tersakti pada zaman ini tak
tercapai. Sekarang Abu diperintahkan mencari bagian kitab itu dalam tempo satu
tahun. Masakan dia mampu?"
Sebaliknya
Adipati Surengpati tidak menghiraukan. Nampaknya sama sekali tiada pertimbangan
demikian. Hatinya dingin membeku bagaikan batu karang berlumut. Dengan
mendongakkan kepala ia berkata tanpa perasaan.
"Kitab
pusaka Witaradya engkaulah yang mengambil dan menjamahnya sendiri. Sama sekali
aku tak mewariskan, menganjurkan atau mengajarkan. Sebaliknya kamu menekuni
sendiri. Apakah yang harus kaulakukan sebagai seorang murid yang berbakti?"
Pringgasakti
segera dapat menebak kehendak Adipati Surengpati. Dahinya berkerinyit.
Keringatnya mengucur deras. Akhirnya, dengan bergetar ia berkata hormat.
"Guru! Tak usahlah guru kecewa mempunyai murid seperti aku. Umurku sudah
cukup tua. Jauh lebih tua daripada usia guru sendiri. Apa perlu masih
bersitegang dengan mempertahankan kesenangan hidup. Baik! Setelah aku selesai
melakukan tugas guru, aku tahu apa yang harus dilakukan oleh seorang murid yang
berbakti. Dengan kedua tanganku sendiri, aku akan merenggutkan semua ajaran
kitab suci Witaradya dari tubuhku."
Mendengar
ujar Pringgasakti, otak Sangaji yang tumpul belum bisa menangkap maksudnya.
Segera ia mengerling kepada Titisari. Gadis itu mengunci mulut. Ia enggan
memberi keterangan. Karena itu ia menoleh kepada gurunya, Wirapati. Dengan
tangan kanan membaca kutung kedua belah tangannya. Wirapati memberi isyarat apa
arti merenggutkan ilmu sakti kitab pusaka Wataradya.
Memperoleh
keterangan isyarat itu, barulah Sangaji mengerti arti merenggutkan semua ajaran
ilmu kitab suci Witaradya. Katanya terheran-heran dalam hati, ah, kiranya dia
hendak mengutungi kedua belah tangannya sendiri. Pringgasakti menurut kabar
adalah seorang iblis yang luar biasa jahat. Tapi nampaknya pada hari ini, ia
insyaf akan kejahatannya. Mengapa masih harus menjalankan hukuman begini berat?
Biarlah Titisari kudesak agar memohon ampun kepada ayahnya."
Tengah
Sangaji sibuk berpikir, mendadak Adipati Surengpati berpaling kepadanya sambil
berkata, "Kau yang bernama Sangaji?"
Sangaji
segera membungkuk hormat sambil bersembah. Berkata, "Aku bernama Sangaji.
Asal dari Jakarta..."
"Muridku
kedua bernama Abas, kaulah yang menewaskan. Bagus! Pastilah engkau lebih hebat
dari padanya." Sangaji terperanjat. Nada Adipati Surengpati berkesan
kurang menyedapkan hati. Tetapi cepat-cepat ia menyahut, "Waktu itu, aku
lagi berumur empat belas tahun. Aku kena tangkap dia. Tanpa kusenga-ja, pistol
yang kugenggam meletus. Karena dia menyentil pelatuknya..."
"Begitu?"
Adipati Surengpati mendengus. Suaranya luar biasa dingin. "Abas adalah
muridku kedua yang murtad. Meskipun demikian orang di luar kalangan kami, tak
kuperkenankan menghukum semena-mena. Apakah kaukira, murid dari Karimun Jawa
bisa dibinasakan seseorang dengan seenaknya saja?"
Sangaji memang
tak pandai berdebat.
Maka dia diam
tak tahu apa
yang harus dikatakan.
Melihat
Sangaji diam seperti tersumbat mulutnya, Titisari terus saja berkata mewakili.
"Ayah
kematian Abas disebabkan suatu kecelakaan. Bukan suatu pembunuhan dengan
sengaja."
Adipati memejamkan
mata seolah-olah tiada
sudi mendengarkan tiap
patah kata anaknya.
Berbareng
dengan menyenakkan mata, ia menentang Sangaji dengan pandang berapi-api.
"Si
bule Gagak Seta, biasanya tak senang mempunyai murid. Tetapi kini, ternyata dia
telah mengajari kamu ilmu rahasianya hampir tamat. Pastilah kamu mempunyai
sifat-sifat baik dan bakat bagus yang melebihi semuanya yang pernah
diketemukan. Apabila tidak demikian, pastilah kamu sudah berhasil membujuk atau
menjebaknya sehingga mau tak mau dia harus menurunkan ilmu saktinya kepadamu.
Ternyata dengan berbekal ilmu sakti si bule yang belum sempurna, kau telah
berhasil merobohkan murid Karimun Jawa.
E-hm...
di kemudian hari, apabila aku bertemu dengan gurumu, pastilah dia bakal
mengoceh tak keruan."
"Ayah!"
kembali Titisari memotong. "Memang benar Paman Gagak Seta mengajari dia,
bukan karena Sangaji adalah muridnya tetapi semata-mata oleh suatu bujukan.
Juga bukan dialah yang mengakali. Tetapi aku! Ayah, Sangaji adalah seorang
pemuda polos hati. Janganlah Ayah berlaku begini bengis sampai dia jadi
ketakutan!"
Kali
ini Adipati Surengpati benar-benar tidak mendengarkan perkataan anaknya.
Sebenarnya, semenjak isterinya meninggal dunia karena duka-cita, seluruh cinta-kasihnya
dialihkan kepada gadisnya. Itulah sebabnya, ia memanjakan Titisari sampai
melampaui batas, la tak memedulikan tingkah-laku Titisari yang agak liar dan
terlalu berani menentang semua lakunya yang tidak disetujui. Suatu kali,
Titisari merasa tersinggung, tatkala dia mencoba mengajari tata-susila
pergaulan. Terus saja gadis itu minggat, peristiwa itu membuat dia terkejut.
Cepat-cepat ia mengejar. Sepanjang perjalanan, dia mengira bahwa gadisnya akan
sangat menderita. Tak tahunya, Titisari tetap sehat wal-afiat. Bahkan nampak
kian segar-bugar dan bercahaya seri seorang gadis remaja yang telah menemukan
suatu keputus-an hati. Dengan pandang penuh selidik ia mengamat-amati pergaulan
gadisnya dan Sangaji. Ternyata hati anaknya lebih ber-cenderung kepada pemuda
itu. Oleh kesan ini, hatinya kurang senang. Maka terus saja dia berkata kepada
Sangaji.
"Setelah
kamu bisa memiliki ilmu sakti Gagak Seta, pastilah kau tak menghargai penduduk
Karimun Jawa."
Titisari
kenal watak ayahnya yang angkuh dan mau menang sendiri. Pikirnya dalam hati,
Ayah tak senang menyaksikan Sangaji bisa merobohkan Abu dengan ilmu sakti Paman
Gagak Seta. Hal ini bisa membahayakan Sangaji.
Memperoleh
pikiran demikian, segera dia berkata nyaring, "Ayah! Bagaimana Aji berani
menghina murid-murid Karimun Jawa? Dia bisa merobohkan Abu karena secara
kebetulan belaka. Ayah tak percaya? Lihat!"
Setelah
berkata demikian, gadis itu terus saja melompat menyerang Sangaji dengan ilmu
ajaran ayahnya sambil berkata menggertak.
"Mari!
Kita bertanding! Keluarkan ilmu sakti Paman Gagak Seta! Aku akan merobohkan
kamu dengan ilmu sakti Karimun Jawa!"
Dengan
sengaja Titisari menantang Sangaji. Ia tahu bahwa ilmu Sangaji telah maju
berlipat ganda dengan sewaktu baru berkenalan dahulu di Cirebon. Tetapi ia
percaya, masih bisa melayani dalam dua puluh gebrakan. Ia berharap,
mudah-mudahan ayahnya puas.
Sangaji
mengerti maksud Titisari. Melihat Adipati Surengpati diam mengamat-amati, maka
segera ia membalas tantangan itu.
"Biasanya
aku selalu kalah melawan kamu. Tetapi kalau kamu mengira, aku jera kepada
gebukanmu kau berpikir berlebih-lebihan. Kali ini, kalau kau mampu menggebuk
lagi, aku menyatakan takluk."
Setelah
berkata demikian, terus ia mengayunkan tangan dan membalas serangan dengan
suatu jurus ilmu sakti Kumayan Jati.
"Bagus!"
Titisari tertawa merendahkan. Cepat ia berkisar dengan ilmu langkah Karimun
Jawa dan terus menyabetkan tangannya. Itulah suatu jurus ajaran Adipati
Surengpati yang terkenal dengan nama Angin Laut Menumbuk Karang.
Sangaji
melawan ilmu sakti Karimun Jawa dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Tetapi ia
sayang kepada keselamatan Titisari. Itulah sebabnya, ia berkelahi dengan
setengah hati. Sebaliknya Titisari berkelahi dengan sungguhsungguh. Maklumlah,
dia harus membuktikan keunggulan ilmu sakti Karimun Jawa yang sesungguhnya
bukanlah ilmu murahan. Kegesitan dan tenaga dorongnya luar biasa. Siku jurusnya
tajam dan bidang geraknya menempati kedudukan mata angin yang selalu ber-putar
bagaikan gelombang laut. Maka beberapa kali, Sangaji kena terhajar. Celakanya,
Titisari menghajar dengan sungguh-sungguh. Bahkan gadis itu menggunakan seluruh
tenaganya karena dia tahu tubuh Sangaji kuat.
"Kau
masih tak menyerah kalah?" gertaknya sambil terus merangsak.
****
Sangaji
tak menyahut. Dia bertahan sebisa-bisanya dengan jurus-jurus ilmu sakti Kumayan
Jati. Mendadak saja, Adipati Surengpati yang tadi menonton dengan berdiam diri,
melesat ke tengah gelanggang. Cara dia melesat begitu cepat, sampai luput dari
pengamatan sekalian yang berada di sekitar gelanggang. Tahu-tahu kedua tangan
Adipati Surengpati telah mencengkeram tengkuk Sangaji dan Titisari dengan
berbareng. Titisari terus dilemparkan dengan tangan kiri asal terlempar saja.
Sebaliknya dengan tangan kanan, Adipati Surengpati mengerahkan suatu himpunan
tenaga tertentu. Kemudian menghentakkan pemuda itu ke udara melewati kepalanya.
Ia bermaksud hendak merobohkan Sangaji dengan sekali hentakan. Dengan
berjungkir-balik melewati kepalanya, masakan takkan roboh babak-belur?
Tetapi
aneh! Sangaji yang telah mengantongi ilmu sakti Kumayan Jati bukanlah lagi
merupakan seorang pemuda yang masih belum pandai beringus. Begitu ia kena
dijungkir-balikkan di udara, terus saja kakinya turun terlebih dahulu. Dan
menancap kokoh bagaikan batu karang.
Sebenarnya,
apabila dia bisa bermain sandiwara, mestinya harus berpura-pura jatuh
bergulingan serta membiarkan mukanya babak-belur. Tetapi memang dia seorang
pemuda yang jujur dan tiada pandai berpura-pura. Dengan demikian Adipati
Surengpati sekaligus bisa menilai ketang-guhannya. Lantas saja Adipati
Surengpati jadi panas hati.
"Hai!
Kau kira siapa aku, sampai kau berani mengelabui aku dengan permainan
sandiwara? Aku tak mempunyai murid lagi. Karena itu, kau hendak mencoba-coba
ketangguhan ilmu ajaran Gagak Seta? Mari!" bentaknya bengis.
Sangaji
terperanjat. Cepat-cepat ia membungkuk sambil berkata takzim, "Meskipun
aku seumpama berhati sebesar gunung, takkan berani mencoba-coba melawan
kesaktian Tuan."
"Hm...
layanilah aku!" sahut Adipati Surengpati dengan tertawa dingin.
"Seranglah aku dengan ilmu sakti Gagak Seta. Aku akan tetap berdiri di
tempatku tanpa bergerak. Asal aku mengelak atau menangkis, hitunglah aku kalah
melawan engkau..."
"Aku
tak berani," kata Sangaji dengan sung-guh-sungguh.
"Meskipun
tak berani, kau tetap wajib melayani aku."
SANGAJI
jadi serba salah. Pikirnya, ayah Titisari ini begini keras hatinya. Wataknya
mau menang sendiri. Nampaknya dia takkan melepaskan aku, sebelum aku melayani
kehendaknya. Biarlah kulawannya. Rupanya dia hendak menghisap tenagaku,
kemudian dilontarkan kembali. Dengan demikian aku akan roboh oleh tenaga
lontaran kembali. Biarlah aku roboh beberapa kali. Apa artinya demi
Titisari?"
"Mengapa melamun?" bentak
Adipati Surengpati. "Seranglah aku!
Kalau kau menolak,
aku
akan
menghajarmu! Mengerti?"
Sebentar
Sangaji terhenyak. Kemudian tim-bullah watak jantannya. Lantas menyahut,
"Baiklah! Karena Tuan memberi perintah padaku agar melawan, terpaksa aku
tak berani membantah. Setelah berkata demikian, cepat ia melingkarkan tangan.
Itulah suatu jurus gempuran ilmu sakti Kumayan Jati yang pertama. Tetapi ia
hanya menggunakan tenaga himpun enam bagian, karena khawatir akan melukai ayah
Titisari. Kecuali itu andaikata tenaga lontarannya dikembalikan, robohnya takkan
begitu keras, la menyerang ke arah dada Adipati Surengpati seperti batu
berlumut. Gempuran itu lewat begitu saja seperti tergelincir.
"Hai,
anak muda! Kau kira, aku ini siapa sampai engkau berani merendahkan
diriku?" tegur Adipati Surengpati dengan mata berapi. "Apa engkau
menggempur dengan tenaga setengah-setengah? Apakah kau kira aku takkan tahan
menerima gempuranmu?"
Sangaji
terkejut. Gugup ia menjawab, "Tak berani aku menggunakan semua tenagaku
ter-hadap Tuan."
"Hm,
dengan Adipati Surengpati, jangan engkau membiasakan diri bermain-main dengan
seorang dari tingkatan tua."
Mendengar
teguran itu, Sangaji jadi serba salah. Maka tanpa ragu-ragu kini dia menghimpun
seluruh tenaga dengan tata-napas ilmu sakti Kumayan Jati. la berputar lantas
melepaskan serangan. Tangan kirinya mengancam dengan dibarengi tangan kanannya
menyerang perut.
"Bagus!
Inilah baru pukulan yang berarti," puji Adipati Surengpati tersenyum.
Sangaji
kaget bukan main. Serangan hebat tak kepalang. Meskipun belum sehebat Gagak
Seta, tetapi rasanya bisa mematahkan dahan pohon gundul bayi. Tapi begitu
serangannya tiba, mendadak saja ia kena sedot. Sedotan itu keras bukan main,
sehingga lengannya terasa hampir terlepas dari pundak, la kesakitan, sampai tak
terasa terloncatlah perkataannya, "Ampun atas kekurangajaranku
ini..."
Tetapi
tangannya tetap teringkus, sedang tenaganya lenyap entah ke mana perginya.
Wirapati
dan Bagus Kempong heran menyaksikan peristiwa itu. Mereka kaget tatkala Sangaji
melepaskan gempuran dahsyat. Kemudian heran dan berkhawatir menyaksikan lengan
Sangaji tiba-tiba terkulai. Sedetik mereka berpikir, benar-benar hebat Adipati
Surengpati. Tanpa berkelit atau menangkis, ia sanggup membuat lengan Sangaji
mati kutu...
Terdengar
Adipati Surengpati membentak, "Kau pun harus merasakan tanganku, agar kau
lebih bisa menilai tinggi rendahnya ilmu Karimun Jawa. Nah, bagaimana menurut
hematmu. Manakah yang lebih tinggi nilainya antara ilmu sakti Gagak Seta dan
ilmu Karimun Jawa?"
Belum
lagi Sangaji membuka mulut, sekonyong-konyong berdesirlah angin tajam. Sangaji
memejamkan mata menahan sakit. Cepat-cepat ia menjejak tanah hendak mengelak.
Di luar dugaan, tinju Adipati Surengpati telah tiba dengan didahului mengait
kaki. Tanpa ampun lagi, Sangaji roboh terguling. Titisari terperanjat, lantas
memekik seru. "Ayah! Jangan sakiti dia!" Setelah berkata demikian,
gadis itu langsung menubruk ke arah tubuh Sangaji dan mendekap di atasnya.
Maksudnya hendak menghalang-halangi serangan balasan ayahnya.
Tetapi
Adipati Surengpati menyerang. Melihat anaknya melindungi tubuh Sangaji,
tinjunya diubah menjadi satu cengkeraman. Sebat luar biasa, ia mencengkeram
kemeja Sangaji. Kemudian pemuda itu diangkat tinggi. Tangan kirinya terus
membuat suatu lingkaran kecil hendak menusuk tulang rusuk. Melihat gerakan
lingkaran tangan kiri itu,
Wirapati
dan Bagus Kempong terkejut. Mereka tahu, bahwa gerakan itu adalah suatu
serangan maut. Maka mereka maju dengan berbareng hendak menolong Sangaji.
Wirapati berada di depan. Dengan sebat ia menyabetkan pedang dibarengi dengan
pegasan pedang Bagus Kempong yang menyerang pula dari samping.
Adipati Surengpati
ternyata tiada memedulikan
serangan pedang mereka
berdua. Dengan
tenang
ia menyibakkan gadisnya. Tangan kirinya terus bergerak melingkar kalung. Tatkala
kedua pedang murid Kyai Kasan Kesambi tiba mendadak saja patah menjadi empat
potong. Peristiwa ini membuktikan, bahwa Adipati Surengpati sesungguhnya kebal
dari senjata tajam.
Titisari
lantas saja menangis. Teriaknya, "Ayah, bunuhlah dia! Tetapi untuk
selamanya, tak mau aku bertemu denganmu..." Setelah berkata demikian,
tanpa menoleh lagi, ia terus melesat melarikan diri.
Melihat
laku anaknya, Adipati Surengsari terkejut berbareng gusar, la kenal akan
kekerasan hati anaknya yang tak beda dengan kekerasan hatinya. Sekali berkata
dia melakukan tanpa pertimbangan lagi. Cepat ia mengurungkan niatnya hendak
mendaratkan serangan maut terhadap Sangaji. Kemudian melesat hendak mengejar
puterinya. Ternyata Titisari tiada lagi nampak batang hidungnya. Maka ia
berdiri terhenyak di tepi lapangan dengan pandang terlongoh-longoh. Sejenak
kemudian, barulah dia menoleh. Waktu itu, ia melihat Wirapati dan Bagus Kempong
lagi menolong Sangaji berdiri. Ternyata lengan Sangaji nyaris patah, maka
dengan gugup mereka berdua memijat-mijat melancarkan jalan darahnya dan lintang
urat-uratnya. Melihat kesibukan mereka, mendadak saja timbulah amarah Adipati
Surengpati. Kepergian Titisari lantas saja ditumpahkan kepada kedua murid Kyai
Kasan Kesambi itu. Dengan sekali melesat ia menghampiri mereka berdua sambil
berkata nyaring.
"Kamu
berdua, lekaslah bunuh diri! Dengan begitu tak usah aku membinasakan kamu
dengan tanganku sendiri. Kalau kamu menolak, aku bakal menyakitimu..."
Wirapati
dan Bagus Kempong adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Selama menjadi murid, mereka
dididik memiliki budi-pekerti luhur. Keselamatan diri, diabaikan demi cita-cita
membela keluhuran. Kalau tidak, masakan Wirapati sampai berani mengorbankan
diri selama dua belas tahun semata-mata membela nama perguruannya. Maka oleh
ancaman
Adipati
Surengpati, serentak timbulah watak kejantanan dan ksatriaannya. Mereka terus
saja berdiri sejajar dengan pandang mata tak berkedip.
"Seorang
laki-laki, berapa takut akan derita," bentak Wirapati.
"Cobalah!" Dan Bagus Kempong menyambung pula. "Kau bersakit
hati, karena harga dirimu kena terhina bocah kemarin sore. Kini, engkau hendak
merendahkan nama perguruan dan guru kami Kyai Kasan Kesambi, apakah itu suatu
laku bijaksana?"
Sangaji
jadi tegang. Ia sadar bahwa mereka berdua takkan mampu melawan Adipati
Surengpati. Sama sekali tak diinginkan, bahwa mereka berdua akan membuang nyawa
dengan sia-sia semata-mata karena perkaranya. Maka lantas saja ia melompat
menyanggah dan berdiri dengan gagah di depan mereka sambil berkata tegas kepada
Adipati Surengpati.
"Abas
Pringga Aguna, aku seorang diri yang membinasakan. Kesetiaannya tiada sangkut
pautnya dengan guruku dan pamanku. Aku sendiri yang akan mengganti
nyawanya." Ia tahu kalau watak gurunya adalah penuh keperwiraan. Maka ia
menambah lagi, "Tetapi...
perkenankan
aku memohon waktu. Aku datang ke mari hendak menuntut balas almarhum ayahku
yang dibunuh orang dengan semena-mena. Berilah aku tempo satu bulan! Setelah
itu, aku berjanji hendak menemui Tuan ke Karimun Jawa. Di sana aku menerima
titah Tuan."
Kusut
gelombang pikiran Adipati Surengpati. Karena terganggu ketentraman hatinya oleh
kepergian gadisnya, ia terus saja mengumbar amarahnya. Teringat pula, bahwa
gadisnya minggat lagi karena membela pemuda itu, maka tanpa disadari gelombang
marahnya lantas jadi mereda. Tanpa melepaskan sepatah kata pun ia memutar
tubuhnya dan terus menghilang mengejar gadisnya.
Wirapati
dan Bagus Kempong heran, mengapa kata-kata Sangaji bisa menaklukkan pendekar
sakti yang terkenal beradat kukuh dan keras hati itu. Mereka bercuriga.
Pandangnya lantas saja ditebarkan. Siapa tahu, Adipati Surengpati lagi
melakukan suatu jebakan. Tetapi ternyata pendekar sakti itu benar-benar
meninggalkan gelanggang.
Mendadak
saja, terdengarlah Pringgasakti tertawa mendongak ke angkasa. Semua berputar
mengarah kepadanya. Iblis itu menjejak tanah dan kemudian terus berjumpalitan
di udara. Setelah mendarat, ia lenyap pula di balik belukar. Kini tinggal para
pendekar undangan Pangeran Bumi Gede. Sanjaya terus berteriak keras,
"Guru! Bawalah aku!" Tetapi iblis Pringgasakti tiada menghiraukan
muridnya itu lagi. Sekitar lapangan seolah-olah jadi hening tiada suara.
Teranglah sudah, bahwa iblis yang pernah menggemparkan sejarah lebih dari
setengah abad lamanya itu, kini benar-benar jadi bangkrut. Setengah abad yang
lalu, dia pernah bertanding melawan Kyai Kasan Kesambi selama tujuh hari tujuh
malam. Taraf kesaktian Kyai Kasan Kesambi belum mencapai tingkatan sekarang,
tetapi peristiwa itu benar-benar menggemparkan sejarah. Mendadak pada hari itu
dia rontok berantakan oleh cucu murid Kyai Kasan Kesambi. Inilah suatu
peristiwa aib yang mencoreng mukanya sangat mendalam. Karena itu, bagaimana dia
bisa menanggung malu demikian besar. Maka dia menghilang dengan begitu saja,
tanpa memedulikan seruan muridnya.
Disclaimer !
Teks BENDE MATARAM JILID 18 HANTU BERKELIARAN DI SIANG HARI di atas adalah postingan sharing semata. Seluruh media yang tersedia di Cah Bantul ini hanyalah untuk berbagi wawasan dan info update terkini tentang Cah Bantul ini. Apabila ada kesamaan nama, alamat atau juga hal lain dalam postingan harap dimaklumi menimbang informasi digital adalah bentuk sosial media yang menjadi konsumsi publik, bukan sebagai hak milik.
0 Response to "BENDE MATARAM JILID 18 HANTU BERKELIARAN DI SIANG HARI"
Posting Komentar